Senin, 02 Desember 2013

Sepucuk Surat untuk Kamu





Dear D...

Aku ingin membuat sebuah pengakuan. Pengakuan yang mungkin tiada artinya dalam hidupmu, namun mengambil makna dari sebagian hidupku. Pengakuan yang serupa daun pagi yang terhempas setengah sisinya. Seperti tak seimbang, karena tak seluruhnya sama, karena tak dua-duanya mungkin merasa.

Aku ingin memulainya dari sebuah pertemuan. Pertemuan, kala mataku membingkaimu dalam tatapan. Tatap itu terjadi kira-kira dua tahun silam. Memang, sudah lama. Aku melihatmu dari sebuah foto. Foto formal sederhana berukuran 3x4. Yang tampak hanya potongan setengah dirimu. Dengan kerudung hitam dan baju berwarna biru tua, kamu tampil begitu sederhana. Kuperhatikan lekat parasmu, meski tak cukup jelas. Garis wajah yang teduh, tak menampakkan sikap angkuh sekilas kutemukan di sana. Aku tersenyum tipis. Hatiku menggumam kala itu. "Seperti apa orangnya yah?"

Mataku kemudian mulai menyapa dalam tatap nyata. Temu yang sebenar-benarnya temu. Aku melihatmu secara langsung. Tanpa tirai, tanpa sekat, tanpa halang bayangan. Sosok perempuan berkerudung hitam, berkulit sawo matang namun cenderung putih dan bersih. Kupandangi beberapa lama, kubiarkan anganku beranak asa dalam semesta pikir. "Sama, masih tetap sama. Seperti di foto" batinku. Baju biru tua dan rok panjang hitam membuatmu terlihat apa adanya. Tak ada senyum maupun tawa, hanya diam yang bersandar di wajah. Lekat, kutatap rapat bersela jauh jarak. Kala itu aku mendekap doa dalam hati, "Semoga aku bisa mengenalnya nanti.".

Setahun berjalan, sesap, aku mencuri pandang di balik pundak teman. Sekedar melepas rindu akan rasa yang tak pernah dimengerti. Ini candu. Hingga akhirnya doaku terjamah. Sapa memperkenalkan kita. Waktu itu kita sedang rapat, entah tentang apa. Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Dalam ruang yang cukup luas itu namun sesak karena penuh nyawa, kamu berdiri, melangkah menuju pintu. Entah karena apa, lisanku berkata.

"Mau kemana? Kok cepet banget pulang?" tanyaku dengan nada melarang tapi diselingi senyum jua. 
"Iya kak, datang jemputanku." jawabmu dengan senyum kikuk. 
"Emangnya siapa yang jemput? Rapat belum selesai nih." tahanku.
"Ada bapakku kak." jawabmu, senyummu sopan.
Sejenak aku berpikir. "Oooo." sahutku dengan wajah serius.
"Kalau begitu salam buat bapak yah." ledekku. Kuselipkan senyum padamu. Kamu tersenyum. Sedikit tergesa kamu pakai sepatu flat itu. Sedikit berlari, lalu berlalu. Senyummu belum hilang.

Semenjak itu aku jarang bersapa denganmu. Mungkin karena kesibukan kuliah dan praktek yang membuat lupa atau sekedar suratan yang belum menyatakan kesempatan. Tetapi aku tetap bersyukur. Walau tanpa sapa, aku tetap senang saat menemukanmu tersenyum di tengah teman-temanmu. Senang menemukanmu, saat kamu tertawa oleh celoteh lelucon sahabatmu. Senang menemukanmu, saat seolah berbisik dengan para perempuan di sampingmu.

Hingga tanggal 31 Agustus 2013 semua jelas begini adanya. Barulah aku sadar, aku tak hanya sekedar kagum padamu. Lagi, takdir mempertemukan kita dalam sebuah acara halal bi halal. Malam itu, mataku malu. Kamu cantik sekali. Lebih cantik dari yang tercantik. Meski dalam bisu, aku merasa bahagia. Seakan memberi makan rindu yang tengah kelaparan, aku tak bisa berhenti melihatmu. Tepat di belakangmu, dua kursi ke kanan, aku disana membunuh rindu, sendiri. Menggila sendiri, tak bisa ditahan. Kupinjam android temanku, kutuliskan perasaanku lewat akun twitterku.


D...

Aku menyukai kesederhanaanmu, kala dulu. Namun kini, aku mencintai keanggunanmu. Entah mengapa berganti. Mungkin karena mereka sebenarnya sama, kamu. Kini, bermacam warna kerudung menghiasi parasmu. Tak jarang juga aneka warna pasmina memperindah mahkotamu. Kamu tampak lebih dewasa dan memukau. Pesonamu, aku tenggelam di sana dalam-dalam.

Lewat surat ini aku ingin mengaku bahwa aku telah jatuh hati padamu. Hatiku telah tertambat di setiap bayangan senyummu, di setiap jejak langkah kepergianmu yang sering kuperhatikan. Karena itu izinkanlah aku berterima kasih. Kehadiranmu sungguh bermakna dalam hidupku. Walau hanya berteman diam, bersanding sepi, tanpa aksara maupun kata yang terucap, aku tetap memuji Sang Ilahi, bersyukur.

Kamu telah membuatku membuka mata. Membangunkanku dari tidur lama yang kerap buta rasa dan dunia. Kehadiranmu sekali lagi membuatku menikmati indah kata sakral cinta. Membuatku kembali tahu bagaimana merasa rindu bahkan sebelum mencinta. Membuatku kembali sadar arti cinta yang sebenarnya, pembeda antara makna rasa dengan nafsu belaka.

Terima kasih D...
Aku mencintaimu.


Salam rindu yang paling hangat,
Dari yang diam-diam mencintaimu.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, kasi komentar, saran, atau kritik yah :)

 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger