Jumat, 12 September 2014

Mungkin Malam

2 komentar
Mungkin malam memang teman yang paling setia. Bagi mereka yang merasa tak punya apa-apa, bagi mereka yang pernah mempunya kemudian kembali tiada (kepunyaannya). Mungkin begitulah. Malam selalu menjadi teman setia bagi siapa-siapa yang sendiri atau yang kemudian sendiri. Karena malam juga sebatang kara, seorang diri.

Mungkin malam memang pendengar yang paling baik. Bagi mereka yang sengaja bercerita, bagi mereka yang tak tahu ingin berkata apa pada sesiapa. Kiranya malam memang mengerti apa dan seluruhnya cerita-cerita, doa, bahkan perasaan yang sering kali ia dengar itu. Semuanya sama. Selalu tentang kesedihan, sepi, dan kehilangan. Mungkin begitulah. Malam tahu bagaimana rasanya hidup dalam sunyi, ia mengerti. Pikirnya jika bukan pada diriku, kemana lagi mereka akan menangisi rasa sakit ini?

Tapi...

Apakah malam sedih dirinya menjadi malam? Yang selalu sepi, sendiri, dan sedih sebagaimana rengek banyaknya manusia padanya?

Di tengah gigil, Malam meringkuk pelan, mengeratkan selimutnya perlahan. Di sampingnya, Bulan sedang terlelap. Entah, Sepi dan Sedih sedang kemana.


Makassar, 12 September 2014

Read full post »

Minggu, 24 Agustus 2014

Karena Puisi ialah Caraku Menjengukmu Kembali

4 komentar
Maka tinggallah sebentar dalam kata-kata ini
sebab hanya dalam puisi
dirimu masih kumiliki*


Mukjizat Amman

Tahukah kamu apa itu rindu? Ya, mungkin kamu tahu. Aku sangat yakin kamu mengerti. Karena kamu termasuk manusia yang merasa, punya panca indera. Aku juga yakin kalau kamu tak hanya sekedar tahu. Sepanjang perjalanan hidup, manusia tak mungkin melewatkannya. Kamu pun jua, pasti pernah mengalami. Bahwa merindu adalah pekerjaan menanti, pekerjaan yang menyakitkan sekaligus menyayangi. Tapi apakah kamu tahu bahwa ada rindu yang biru? Rindu yang terlalu sakit. Rindu yang lebam karena telah luka, tak pernah dibasuh hingga busuk begitu saja?

Sebenarnya, aku ingin mengungkap rahasia. Aku sedang merindukanmu. Merindukan kehadiranmu. Tatapanmu. Senyummu. Kacamata yang selalu bertengger tepat di kedua mata cokelat itu. Aku merindukannya. Semuanya. Dan itu membuatku menderita karena aku dihadapkan pada realita bahwa dirimu tak lagi bisa aku sapa, sentuh, dan sayangi lagi. 

Apakah kamu ingat setiap perjalanan pulang kita? Lebih baik aku memberitahumu duluan, aku mengingat setiap rinci kejadian itu. Tak ada yang romantis tapi bagiku itu adalah sebuah perjalanan yang manis. Singkat namun terasa panjang dan menenangkan. Karena hanya dengan tanyamu aku bisa tersenyum, dengan jawabanmu yang sering kali malu, dengan tatapanmu yang tak pernah aku bisa selami dalamnya, aku menikmatinya. Aku mengingat semuanya. Menikmati semua dengungan lagu yang kamu lantunkan. Tak ada nada, tak ada lirik sempurna, hanya suaramu dan ramainya jalanan. Aneh, tapi hal itu cukup membuatku merasa nyaman.

Hingga pada akhirnya keindahan yang ku nikmati itu usai dengan sendirinya. Dan sayangnya, kita tak bisa apa-apa. Kesalahan terjadi begitu saja. Sadarkah kalau kita berdua memang terlalu keras kepala?

Bukan maksudku untuk bisu, aku tak memilih untuk tak memanggilmu. Sejujurnya, dalam diam rindu ini aku rawat hingga dia menghitam. Kini, aku bingung antara memilih mencintai dan membenci. Aku tahu, ini egois. Tapi apakah aku salah? Aku hanya manusia! Dan saat kita sadar, kita telah terlambat. Bahwa apa-apa yang telah terjadi tak mungkin dipungut kembali. Seharusnya kamu sadar bahwa aku tak bisa dicemburui, seharusnya aku sadar kamu tak biasa dimarahi, dan seharusnya kita sadar apa-apa yang tak bisa kita lengkapi.

Maafkan aku. Jikalau saja malam itu kamu tak memelukku, aku tak akan pernah ada disini. Menulis puisi untuk menjengukmu kembali.

Malam ini, entah malam keberapa kalinya, aku seperti orang bodoh yang tak ada kerjaan. Bertengger di sudut gelap Fakultas Sastra, hanya untuk sekadar menunggu dan melihatnya pulang. Hanya untuk sekadar membenarkan pertanyaan atas rindu-rindu yang kini telah lebam.

*

Nur Afifah Hasanah

Dahulu aku perempuan yang kuat. Perempuan yang mengganggap bisa berdiri di kaki sendiri. Aku tangguh dan begitu teliti, membuatku benar-benar tak mudah untuk mempercayai. Tetapi, sekarang aku bukan seperti itu. Aku perempuan yang terlalu lemah, bahkan untuk sekadar melepas sapa dan tanya. Tahukah apa yang telah dirimu perbuat kepadaku? Bahwa hadirmu telah merusak hidup dan hatiku? Tahukah kamu telah mengiris mereka dan membawa sebagiannya pergi?

Aku tak pernah sadar memiliki sesuatu sampai aku sadar ada yang hilang. Ya, perasaanku sebagian telah hilang dan itu membuatku takut. Aku tak pernah bisa berani sekarang. Karena keberanianku mendadak terkikis dengan langkahnya yang teramat pelan mengabur. Tak kamu lihatkah bahwa diriku hanya pura-pura tegar? Pura-pura tertawa? Bahwa jauh dalam diriku selalu ada ruang yang membuatku sendiri.

Aku ingin mengaku. Aku mencintaimu. Sungguh. Sudah terlanjur jatuh dan teramat tenggelam. Membuatku benar-benar tak sadar hingga ketiadaanmu membuatku merasa hampa. Aku memang bodoh, terlalu kaku dan acuh. Bahwa dirimu ialah lelaki yang terlalu perasa. Seharusnya aku sadar dan mengerti, sudah semestinya sejak lama aku mengatakan jikalau aku benar-benar cinta.

Kini aku menyakiti diriku lagi. Mengingat-ingat seluruh leluconmu, pertanyaanmu dan semua tingkah kecil yang selalu manis buatku. Aku ingat bagaimana candamu ketika kita pulang mengendarai sepeda motor kesayanganmu itu. Kamu mengaku kedinginan dan memintaku untuk memeluk punggungmu. Andai saja kamu tahu, diantara pukulan tanganku dan penolakanku ada debar malu antara keinginan dengan kepura-puraan.

Aku ingin menangisi kebodohanku, kebodohanmu, dan kebodohan kita. Hingga kini, kita tak berani untuk bertemu atau sekadar bertegur sapa. Jadi, maafkan aku yang terlalu angkuh, terlalu tak percaya, dan menjerumuskanmu dalam liang ketidakpedulian, seperti diriku dulu.

Malam ini, entah malam keberapa kalinya, aku seperti orang bodoh yang tak ada kerjaan. Berdiri mematung di sisi taman sambil menatap kosong ke rerimbunan pohon yang selalu sama. Berharap dirimu ada di sana, menungguku, untuk kembali pulang bersama.


Catatan:
* ialah potongan dari puisi @el_nafyza yang berjudul Hanya dalam Puisi, Dirimu Masih Kumiliki

Read full post »

Senin, 11 Agustus 2014

Karena Selamanya Tidaklah Cukup Lama Bagiku (Bagimu)

2 komentar


Selama-lamanya tidaklah cukup lama bagiku
Rasanya aku telah cukup lama bersamamu
Lupakanlah dunia, takkan kita biarkan mereka melihat
Tapi masih ada satu hal yang harus kita lakukan

Kepada Tuhan, sudah semestinya kita sampaikan terima kasih teramat dalam. Firman-Nya telah membuat kita paham ihwal masa dan kesabaran. Tentang bersama, menjaga dan tidak menyianyiakan apa saja. Bahwa kalimat-kalimat benar itu menyadarkanku akan genggaman dan berbagai temu; kita. Maka, lupakanlah dunia dengan segala kefanaannya. Mereka tak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi: dalam hati kita. Karena itu, percayalah. Cukup anggukan kepala dan kita akan mulai semua dari "selamanya".

Karena kini beban telah terangkat 
Cinta tentu telah mengalihkan jalanku

Aku pernah percaya pepatah, tentang air dan batu; (cintaku ialah tetes yang jatuh padamu). Bahwa apa yang seharusnya diperjuangkan akan menuai hasil yang gemilang. Maka ketika aku bertemu denganmu: hingga kini, aku mengerti. Beban yang (lama) aku pikul telah ringan bersamaan dengan masing-masing penerimaan kita. Cinta telah menuntun kita, dan masa (dengan begitu romantisnya) yang me-nyata-kannya. Bukankah kamu percaya kalimat itu?

Menikahlah denganku
Hari ini dan hari-hari berikutnya
Menikahlah denganku
Katakanlah kau mau
Bersama tidaklah cukup dekat bagiku
Rasanya aku telah cukup dekat denganmu
Gaunmu putih dan kan sering kuucap kata aku cinta padamu
Dan kau cantik
Karena kini penantian telah usai
Dan cinta akhirnya menunjukkan jalanku padamu

Maka, tolong janganlah menangis, sayang. Apakah keharuan ini terlalu biru? Tak ada yang terlalu istimewa selain dirimu. Gaun putih, paras selembut awan, dan mata dengan tatapan yang selalu memenjarakan (aku). Sungguh. Betapa! Tak sadarkah kecantikanmu sungguh terlalu? Karenanya, tolong berhentilah. Seka air mata dan tersenyum. Dengarkan; tak ada yang lebih sempurna dari aku dan kamu yang menyatu. Karena dekap, degup (jantung), dan dekat (lekat) sungguh tak benar-benar cukup untuk memaknai apa yang telah luruh dari langkah-langkah kita yang selalu berirama sama. Karenanya, (sekali lagi) tolong janganlah menangis. Kesedihan dari gugu isakmu telah melebihi cukup--baik dahulu maupun sekarang. Penantian kita yang lugu telah saling menemukan. Aku ingin pulang. Pada sebuah rumah yang hanya ada aku, kamu dan cinta yang lapang--selalu.

Berjanjilah padaku
Kau kan selalu 
Bahagia di sisiku
Aku berjanji
Kan menyanyi untukmu
Saat dan hingga musik musnah

Kita pernah tertawa pada janji-janji yang tak pernah termiliki. Kita pernah berandai pada mimpi-mimpi yang terlalu tinggi. Kita pernah saling mengerti bahwa tak semua kesepakatan berakhir tertepati. Kita juga yang selalu kompromi bahwa di dunia ini selalu ada hal yang tak pasti. Bahwa setiap hal (selalu saja) ada yang belum bisa dimengerti; dan itu pertanda bahwa kita tak selalu punya jawaban. Di antara kedua dari kita, akulah yang bodoh, dan selalu kamu yang menjelaskan. Tetapi, (kali ini saja) izinkan aku yang menjabar makna semuanya. Bahwa tentang janji, mimpi, dan nyanyian sunyi yang selalu kita tertawakan adalah benih dari rasa yang tumbuh di hatiku: di hatimu. Maka mengertilah sekarang, mulai saat ini--baik aku maupun dirimu--akan satu bahagia, satu rahasia, dan satu nada. Hingga nantinya tiada yang memberi jeda di antara kita.

Dan menikahlah denganku 
Hari ini dan hari-hari berikutnya
Andai kupunya nyali tuk menyapamu di kafe saat itu
Katakanlah kau mau

Jika pengandaian ialah raja, sesungguhnya tak akan pernah ada tanya dan sapa. Jadi, jangan jadikan ini semua ibarat asa semata, karena semua ialah nyata. Cukup menjawab saja. Karena disinilah kita (berada). Duduk di antara sebuah meja (dekat jendela), dengan seikat bunga (sebagai saksi buta) dan yang aku tunggu hanya kata "mau"mu saja.
"Menikahlah denganku...untuk hari ini dan hari-hari selanjutnya"



(Tulisan ini terinspirasi dari sebuah Cerita dalam Lagu yang berjudul "Menikahlah Denganku, ya?" by @el_nafyza, diadaptasi dari lagu Marry Me by Train)

*sumber gambar disini

Read full post »

Selasa, 29 Juli 2014

Rahasia (yang) Entah

0 komentar
Jika ada yang bertanya mengapa aku tak bisa berhenti memandangnya, aku hanya bisa tersenyum sebagai jawabannya. Jika ada yang bertanya mengapa aku tak pernah bisa berhenti memikirnya,sekali lagiaku hanya bisa tersenyum sebagai jawabannya. Dan jika ada yang bertanya mengapa aku menyukainya, maka aku hanya bisa diam, tersenyum dan kemudian malu dengan sendirinya.

Tuhan memang selalu punya rahasia dalam tiap kisah yang sengaja Dia tuliskan. Kadang rahasia itulah yang membuatku bertanyatentangbagaimana kerja semesta mempertemukan sepasang manusia. Apakah sebenarnya semesta diperintah langsung oleh pencipta-Nya ataukah itulahsudah menjadi "hukum"keistimewaan alam yang selalu punya napas pada segala yang bernama cinta?

Sebab dengan semua rahasia itu, aku tak tahu menahu dan tak pernah mengerti.

Aku tak tahu bagaimana awal perasaaninibermula. Ada yang mengaku menemukan dan menyiratkannya dalam puisi dan prosa. Saling menjalin ikatan dan berpelukan sayang pada rangkaian tanda dan aksara. Merekalah yang bersaksi bahwa cinta bisa dipertemukan dalam diam dan oleh kata-kata.

Aku juga tak pernah tahu makna dari tatapan mata. Ada yang mengatakan bahwa mereka dapat berbicara, menyapa bahkan saling menyampaikan rasa. Mungkin inilah yang dibenarkan oleh sebagian lelakipemalu. Waktu terasa berhentiakui mereka. Sosok yang menemukan cinta hanya dalam pandangan pertama.

Tak pernah pula kupahami apa arti dari kata "suka". Aku hanya bisa menerka-nerka maksudnyamelalui hati dan mata. Dari mereka berdua yang berpegangan tangan dan saling bercumbu mesra. Dari mereka yang saling bertatapan, kemudian berbicara tentang masa depan dan masa-masa tuanya.

Akan tetapi, kemudian, aku mulai menemukan keterkaitan di antara mereka. Awal rasa, tatapan mata, dan perasaan suka ialah sebuah paket yang tak bisa dipisahkan. Ketiganya adalah sebuah konsekuensi sebab akibat yang saling berkaitan. Karena semuasekali lagimanusia merasakan dan membenarkannya. Sudah menjadi hukumNya,karenasemua manusia pasti pernah jatuh cinta.

Dan ketika aku mulaisadarmerasakan keindahan bertukar kata dan kerinduan untuk saling menatap mata, aku tahu. Tuhan menyimpan rahasia bukan untuk disembunyikan tetapi untuk dijelaskan. Dan Tuhan tahu kapantepatnyarahasia itu harus terbuka. Dan begitu adanyahukumNyasaat kita tahu bahwa kitalah sepasang rahasia itu, kita sadar baha Tuhan begitu romantisnya.

Membuka sebuah rahasia,
...dan menutupnya dengan penjelasan yang indah.

garissatukata

Read full post »

Minggu, 20 Juli 2014

Perjalanan Kocak dan Luar Biasa Pria Tua 100 Tahun

1 komentar
#The100Yoman
Judul Buku : The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared
Penulis : Jonas Jonasson
Penerjemah : Marcalais Fransisca
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Cetakan Pertama, Mei 2014
ISBN : 978-602-291-018-3
Harga : 59.000

Blurb

Allan Karlsson hanya punya waktu satu jam sebelum pesta ulang tahunnya yang keseratus dimulai. Wali kota akan hadir. Pers akan meliput. Seluruh penghuni Rumah Lansia juga ikut merayakannya. Namun ternyata, justru yang berulang-tahunlah yang tidak berniat datang ke persta itu.

Melompat lewat jendela kamarnya, Allan memutuskan untuk kabur. Dimulailah sebuah perjalanan luar biasa yang penuh dengan kegilaan. Siapa sangka, petualangannya itu menjadi pintu yang mengungkapkan kehidupan Allan sebelumnya.
Sebuah kehidupan -tanpa terduga- Allan memainkan peran kunci di balik peristiwa penting pada abad kedua puluh. Membantu menciptakan bom atom, berteman dengan Presiden Amerika dan tiran Rusia, bahkan membuat pemimpin komunis Tiongkok berutang budi padanya! Siapa, sih, Allan sebenarnya?

*****

“Segala sesuatu berjalan seperti apa adanya, dan apa pun yang akan terjadi, pasti terjadi.”

Mungkin inilah sebaris kalimat yang terlintas ketika Allan Karlsson tanpa pikir panjang melompat dari jendela kamarnya. Ia lebih memilih jalan “mati” yang lain daripada terjebak dalam rangkaian kebosanan di Rumah Lansia dan meniup kue ulang tahunnya yang keseratus. Ya, dirinya nekat melarikan diri dari acara ualng tahunnya sendiri yang dihadiri langsung oleh Walikota tepat satu jam sebelum acara tersebut dimulai.

Tanpa perencanaan apa-apa, Allan terus melangkahkan kakinya (berlomba dengan rasa sakit di lututnya) hingga sampai di Terminal Bus Malmkoping. Siapa sangka, aksi gila kakek 100 tahun itu tak sampai disitu. Begitu ia memutuskan untuk menaiki bus ke arah Stragnas, ia secara tak sengaja juga mencuri sebuah koper beroda besar yang tadi dititipkan seorang pemuda kurus berjaket yang bertuliskan “Never Again” kepadanya. Pikirnya, mungkin dalam koper itu ia dapat memperoleh baju ganti dan sepasang sepatu.

Alhasil, ternyata, tindakan nekat Allan mencuri koper itu justru memberikan salah satu cerita petualangan yang sangat kocak di usianya yang telah seabad ini. Sebuah perjalanan yang sangat berbeda dari pertualangannya semasa muda. Mulai dari pertemuannya dengan seorang pria tua pencuri, kemudian Allan menjadi incaran kelompok gangster, dikejar polisi, menjadi bahan perbincangan media, sampai dicurigai sebagai pembunuh. Lucunya, Allan sama sekali tak pusing dan tak merasa dirinya terlibat masalah.

Hal mencenangkan justru terkuak dengan sendirinya pada petualangannya kali ini. Allan Karlsson pernah terlibat dalam beberapa peristiwa penting semasa perang dunia ke-2. Mulai dari pertentangan komunis, sosialisme, liberalisme sampai kejadian-kejadian yang mengantarkannya bertemu dengan Harry Truman, Stalin, Mao Tse-tung dan saudara Einstein. Allan bahkan pernah mendaki Himalaya dan hampir mati. Tak ada yang menyangka bahwa dirinya punya andil dalam sejarah dunia.

*

Novel yang kocak dan keren! Tema yang berbeda dari yang lain. Dengan cara bercerita yang maju mundur, penulis mengajak pembaca “menerka” ulang sejarah lewat kaca mata Allan. Tak heran jika melihat kenyataan bahwa Jonas Jonasson adalah seorang jurnalis. Tak ayal, juga dengan penggambaran deskriptif yang sangat detail, sesekali pembaca terasa menikmati “keberadaannya” di Swiss, Swedia, Iran, Korea Utara, Perancis, Cina, hingga Rusia. Di sisi lain, pembaca seakan  merasakan rangkaian demi rangkaian peristiwa maupun konflik yang hadir. Begitu mengalir dan terkesan unik.

Penggambaran tokoh Allah yang terkesan tak tertarik pada politik juga merupakan sebuah ide brilian yang mendukung penulis dalam memutar ulang sejarah perang dunia ke-2 lewat perspektifnya. Plot terasa kuat ketika Jonas memberikan twist di beberapa sisi dan menimbulkan sensasi komedi yang meledak. Contohnya saja saat Allan meledakkan rumahnya. Benar-benar tak disangka-sangka :D

Cover novel yang hadir minimalis memberikan stimulus seperti ada “rahasia” dalam novel. Kombinasi yang pas!

Terlepas dari semuanya, novel terjemahan ini sangat patut mendapatkan tempat di rak buku anda. Mengapa? Salah satunya karena pada beberapa bagian dan akhir novel, negara Indonesia disebutkan. Apa itu? Yuk cari tahu :D




Read full post »

Senin, 14 Juli 2014

Cerita Tentang Ibu

0 komentar
Jika diminta bercerita tentang ibu, tentang apa-apa yang berkesan dengan ibu, maka aku akan bingung dan tak akan bisa bercerita apa-apa. Karena apa yang menyangkut dirinya, bagiku, semuanya tak bisa dilupakan. Tak akan bisa diambil dan diduakan. Begitu bernilai. Tawa dan senyumnya adalah kebahagiaan terbesar bagiku. Sendu dan tangisnya adalah kesedihanku jua. Sesederhana itu.

Bercerita tentang ibu seperti mengenang dirinya. Omelannya kala diriku yang malas mandi, teriakan suaranya yang serak (karena terlalu sering teriak) yang menyuruhku agar cepat pulang, dan nasihat-nasihat dirinya yang mengantarku ke perantauan adalah harta yang tak bisa dinilai dalam kepalaku. Bagiku, kenangan itu adalah berlian.

Tapi, dari sekian banyak cerita yang tak pernah kubisa lupakan tentang dirinya, ada beberapa di antaranya yang mengajarkanku tentang kebahagiaan dan kedewasaan. Ada pula yang dulu aku tak mengerti apa maksudnya, kini (setelah diriku kuliah) baru aku tahu jabaran tafsirnya.

Dulu, kira-kira tahun 2000, ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP, kehidupan keluargaku sedang dalam titik terendah. Ibarat roda, posisi kami dekat sekali dengan tanah. Cobaan dan ujian silih berganti datang. Mulai dari tragedi pertengkaran dengan saudara tiri yang mengakibatkan aku, Ibu dan kedua adikku diusir dari rumah, sampai pada hari dimana kami hanya bisa makan nasi garam. Betapa begitu tegar diri Ibu saat itu.

Ibu hanyalah seorang penjahit. Sedikit demi sedikit ia menutupi belanja dengan upah yang diterima dari mengecilkan baju atau celana tetangga. Sewaktu itu ibu baru mempunyai mesin jahit dan belum dikenal kepiawaiannya kecuali orang terdekat dari rumah. Keberadaan ayah tak memberikan nafas segar apa-apa. Dirinya hanya batu! Dia terlalu banyak pertimbangan dan terlalu sayang kepada anak tirinya. Tak mengerti bagaimana setiap malam ibu menangis di tempat tidur, tak mengerti mengapa kantung mata ibu semakin besar dari hari ke hari.

Aku tak kuat. Tapi aku juga takut. Maka pada suatu waktu aku memutuskan untuk mencari uang. Tetapi aku tak tahu bagaimana caranya mendapatkan uang. Pernah seorang teman mengajak diriku mengamen di pinggiran lampu merah Rawasari, tepat di depan Universitas Trisakti, tetapi aku ragu. Begitu banyak preman di sana, apalagi isu-isu kelompok kampak merah sedang panas. Maka tawaran itu aku tolak.

Pilihanku jatuh pada sebuah tempat pemakaman umum. Iya, aku mencari selembar demi selembar uang seribuan dengan membersihkan makam. Hari itu, matahari begitu terik. Berbekal sebuah sapu lidi, aku mulai bekerja. Kutunggui satu-satu pengunjung yang datang, kemudian mengikutinya dari belakang. Satu kuburan, dua, hingga entah keberapa telah aku bersihkan. Peluh tak kupedulikan, pikirku saat itu yang penting hanyalah mendapatkan uang.

Hari sudah sore ketika aku sampai di rumah Ibu Jamal, rumah yang sebagiannya disekat (dibagi dua) agar bisa kami kontrak. Ibu ternyata telah menunggu di depan pintu. Melihatku kotor dan pergi tak bilang-bilang, ia marah. Keringatku belum juga kering (karena aku memilih berjalan kaki, tidak menaiki metromini 46), nafasku belum teratur sepenuhnya, mendengar dirinya murka, mataku seakan mengabur. Lapisan air seperti ingin jatuh dari sana.

Aku tak menjawab semua pertanyaan Ibu. Aku hanya merogoh kantung celana pendek hitamku yang telah lusuh dan memberikannya uang 12.000 rupiah. Kemudian pertahananku runtuh. Aku terisak sambil menjelaskan bahwa diriku tadi dari pemakaman umum di daerah Rawamangun. Ibu kaget dan kemudian memelukku. Tubuhku dan dan dirinya bergetar. Yang aku ingat saat itu hanya, kata-kata yang dibisikkan di telinga kiriku.
“Maafkan Ibu, Man. Ibu enggak tahu”
Disekanya pipiku dengan ujung bajunya. Kemudian ia menggodaku.
“Ternyata anak Ibu udah pintar nyari uang ya?”
Kulihat senyum ibu mengembang. Isakku perlahan hilang. Dan kemudian kami larut dalam keharuan, keharuan yang hanya dimengerti oleh ibu dan anak, keharuan yang baru bisa aku jabarkan bentuk dan maknanya sekarang.

Foto Ibu sekarang. (Soalnya enggak punya foto berdua sama ibu :D)

Begitulah. Semua hal tentang ibu tak pernah tak ada yang berkesan. Segala tentangnya selalu memberikan makna dan pelajaran. Baik langsung maupun tersirat. Tetapi, aku masih belum bisa membalasnya. Maafkan aku ibu. Maafkan anakmu ini. Aku masih belum bisa membalas apapun, tapi masih saja sering kali aku membohongimu. Maafkan aku ibu. Meski kini kita terpisahkan jarak yang luas, percayalah bahwa aku selalu mendoakan dirimu, ibu.
  
Tulisan ini diikutsertakan dalam 

Read full post »

Minggu, 13 Juli 2014

Resensi Fantasy: Love doesn't conquer all, faith does.

0 komentar
Fantasy
Judul Buku : Fantasy
Penulis : Novellina A.
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan I, April 2014
Tebal Buku : 312 hlm
ISBN : 978-602-03-0355-0

Blurb

Butuh tujuh tahun bagi Davina untuk memberanikan diri menginjak kota Tokyo, mengejar kembali apa yang telah hancur saat ia membiarkan Awang pergi mengejar impian. Perjalanan itu bukan semata untuk memenangkan kembali cintanya, namun ia membawa benih mimpi sahabatnya, Armitha: mimpi untuk berada di satu panggung kompetisi piano bersama Awang untuk membuktikan siapa yang terhebat di antara keduanya.

Fantasy berarti mimpi, imajinasi. Hingga sejauh apa Davina, Armitha, dan Awang melalui jalan mimpi yang tak pernah mudah? Inilah saatnya cinta, persahabatan, kesetiaan, dan kepercayaan teruji. Dari Surabaya, Tokyo, Singapura, Paris, Berlin, hingga Wina, mereka berlari menyambut mimpi, mencoba membuktikan bahwa mimpi tidak terlalu jauh untuk digapai selama mereka selalu melangkah untuk meraihnya.

***

Ketika cinta, persahabatan, dan mimpi dipertaruhkan, dimana takdir mempertemukan mereka pada persimpangan, mana yang harus dipilih? Apakah harus merelakan meninggalkan cinta demi impian? Apakah persahabatan di atas segala-galanya? Ataukah justru ketiganya dapat beriringan hanya saja kita yang salah menginterpretasikan sehingga yang terlihat mata hanyalah ketidaksinambungan? Mungkin inilah sebagian hal yang ingin didiskusikan oleh Novellina dalam novel pertamanya ini.

Fantasy bercerita tentang persahabatan tiga orang remaja, Davina, Armitha, dan Awang, yang kemudian tandas di tengah jalan akibat perhelatan antara cinta, kepercayaan, dan impian. Awalnya, Davina dan Armitha adalah sepasang sahabat. Anehnya, karakter keduanya tak sama. Davina ialah seorang perempuan cantik, tinggi, dan blesteran (seperempat Belanda) yang tak punya perhatian terhadap penampilan. Rambutnya cenderung tak rapi dan tak pernah pusing jika pergi kemana-mana hanya dengan memakai kaos oblong dan jeans. Sedangkan Armitha adalah perempuan indo, cantik, bermata tajam (lebih sering dibilang judes) yang memiliki hobi memasak, menjahit, tapi tak pernah suka membaca serta mengerjakan PR. Armitha lebih memperhatikan penampilan dibandingkan Davina, itu terlihat dengan kesungguhannya dalam berpakaian yang selalu menunjukkan keselarasan dalam memilih model dan warna (senada). Tetapi, justru perbedaan itulah yang membuat mereka dekat dan saling melengkapi.

Pertemuannya dengan Awang terjadi akibat aksi nekat remaja laki-laki berbadan besar itu yang meminta Davina untuk memperkenalkannya pada Armitha. Ya, Awang menyukai Armitha sejak awal. Baginya Armitha adalah sebuah misteri yang sangat menggiurkan untuk dipecahkan. Pribadi Armitha yang terbuka dalam hal emosilah yang menyebabkan Awang menyukainya. Armitha terlihat apa adanya, kira-kira itulah yang ditafsirkan Awang dalam pikirnya.

Pembawaan Awang yang supel dan gampang bergaul, yang mampu membuat orang selalu merasa nyaman di dekatnya, membuat dirinya menjadi dekat dengan Armitha dan Davina. Mereka sadar bahwa Awang tak selalu tampil selengean, ada suatu pribadi dalam dirinya yang mampu diandalkan, setia kawan.

Persahabatan mereka bergulir sampai suatu ketika Davina mendapati Awang bermain piano di perpustakaan sekolah. Komposisi yang didengar Davina begitu sedih dan menyayat hati. Seketika Davina melihat hal yang lain dalam diri Awang. Kharisma dan ketampanannya terpancar. Davina jatuh hati, ia begitu terpesona. Dan tanpa ia sadar, ternyata dirinya sejak saat itu menyimpan perasaan pada Awang.

Dilema terjadi saat Armitha mulai membalas perasaan Awang. Davina mendapati mereka sedang bermain piano. Awang menatap Armitha dengan tatapan mendamba, sedang Armitha membalasnya dengan keceriaan. Pemandangan penuh kebahagiaan tetapi Davina tak mampu menerima itu. Hatinya sakit, dadanya sesak. Apakah ia harus mengalah pada perasaannya sendiri? Yang ia tahu saat itu hanya pergi dari tempat itu.

Apakah yang akan terjadi pada Davina? Apakah ia menjauh dan memutuskan persahabatan dengan Armitha? Ataukah justru Awang juga menyimpan perasaan yang sama terhadap Davina?

*

Kiranya perlu memberikan sebuah apresiasi yang besar pada Novellina karena kesuksesannya menjebak pembaca dalam labirin rasa yang ada dalam Fantasy. Sebagai novel pertama, Fantasy tergolong memukau dan menyorot banyak perhatian pembaca. Temanya sangat unik, musik klasik. Alhasil pembaca dapat mengenal beberapa contoh komposisi klasik seperti karya Mozart, Beethoven, Stravinsky dan lain sebagainya. Kelihaian penulis dalam meramu informasi ini seakan-akan menyihir para pembaca untuk berprasangka bahwa penulis sepertinya termasuk salah seorang pianis.

Dengan sudut pandang orang pertama (yang berpindah-pindah antara Davina dan Armitha) memberi kesan yang dalam pada penggambaran karakter tokoh utama tersebut. Emosi sangat terlihat. Tak hanya di situ, detail penggambaran setting menandakan bahwa penulis total dalam melakukan riset penyusunan novel ini. Hal itu terlihat jelas saat imajinasi pembaca ditarik paksa pergi menjelajahi Surabaya, Tokyo, Singapura, Paris, Berlin hingga Wina.

Novellina tak hanya bercerita menggunakan gaya bahasa yang terkesan pop tetapi juga menggunakan bahasa metafora yang terkesan dramatik. Hal ini menimbulkan kesan yang khas, yang romantis, mellow, dalam tubuh Fantasy. Hal ini pulalah yang membuat karakter masing tokoh menjadi lebih kuat, emosi menjadi lebih nyata. Komposisi bercerita dalam novel juga seimbang, antara narasi dan dialog.

Penulis mampu membuat kejutan-kejutan di akhir konflik. Sangat tidak terduga. Seperti memberikan sedikit sentuhan twist, yang mengecoh dugaan pembaca akan akhir dari sebuah masalah dalam cerita. Hal ini mengingatkan saya pada beberapa karya lain seperti novel My Perfect Sunset dan A Truth About Forever. Penulis dengan apik meramu plot dan membuatnya menjadi kompleks, saling bertautan antara cinta, persahabatan, mimpi, kepercayaan dan ketulusan. Sejenak menjadikan, membaca Fantasy seperti memainkan sebuah komposisi. Pengejewantahan karakter, konflik dan rangkaian cerita yang meloncat-loncat terlihat sebagai suatu kesatuan yang bertahap. Seperti seorang pianis membawakan sebuah sonata, melalui first movement, second movement, dan last movement.

Dari segi fisik, cover terlihat tetap eye catching dengan desain grafiti judul yang terlihat keren. Perpaduan warna font dan dasar cover yang bisru gelap tergolong biasa, tetapi ketika disatukan dengan keseluruhan 'isi' cerita, semuanya terlihat jelas. Warna gelap seakan menggambarkan kedalaman dan keluasan dari impian. Dan kitalah, masing-masing bintang yang bertaburan di dalamnya. Kita bisa saja bersinar, bisa tidak, semua tergantung pada keyakinan dan kepercayaan kita pada mimpi itu.

Secara pesan, karya Novellina terbilang menginspirasi. Hal ini terlihat dari penggambaran realitas rasa cinta dan kasih sayang yang disajikan dalam dimensi yang berbeda. Novellina ingin mengajak pembaca untuk mencoba mengerti bahwa cinta tak sesederhana dari apa yang terlihat. Ia mengajak pembaca untuk menelisik lebih dalam ikatan dan kaitan dari cinta, keyakinan, takdir, dan persahabatan. Rangkaian yang mendewasakan.

Pesan-pesan lainnya juga banyak ditemukan dalam kutipan kata-kata dalam novel, maupun hanya quote-quote yang menyentuh.

Bagiku, sebuah mimpi bukanlah sesuatu yang tidak penting. Mimpi adalah inti dari kehidupan manusia. Aku memulai hidupku dari sebuah mimpi (hal. 171)
Mungkin, jalan terbaik untuk tidak merasakan kesedihan adalah dengan tidak memikirkannya, menjauh dari kenangan, bahkan jika perlu meninggalkan semuanya untuk memulai hidup baru (hal. 121)
Tidak ada yang lebih menyedihkan selain saat seseorang kehilangan harapan. (hal. 133)
Terkadang tatapan mata mampu mengatakaan sejuta kejujuran daripada yang dapat diucapkan oleh lidah. (hal.106)
Merantai kaki seseorang karena ketakutan kita bukanlah cinta melainkan keegoisan. (hal. 126)


Kekurangan dari novel ini, hanya saja masih terdapat beberapa kesalahan penulisan.

Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangannya, novel ini sangat patut mendapatkan tempat di rak buku pribadi anda. Dengan cara yang tak biasa, penulis mencoba memberikan perspektif yang lain akan perjuangan dalam meraih mimpi dan cinta. Fantasy, 4,5 of 5 star.

"You are my Fantasy in D minor, my ending from my search of happiness"
(hal. 308)


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Resensi Novel Fantasy by Novellina A.

Read full post »

Minggu, 15 Juni 2014

Review (Bukan) Salah Waktu

0 komentar

Judul Buku: (Bukan) Salah Waktu
Penulis: Nastiti Denny
Penyunting: Fitria Sis Nariswari
Perancang Sampul: Citra Yoona
Penerbit: Pustaka Populer Bentang
Cetakan: Pertama, Desember 2013
Tebal Buku: viii + 248 halaman
ISBN: 978-602-7888-94-4

-----

Manusia punya banyak pandangan terhadap masa lalu. Ada yang memposisikannya sebagai pelajaran, pengalaman, luka bahkan sebagai kesalahan yang kerap menimbulkan penyesalan entah sampai kapan. Bagaimana dengan pandangan bahwa masa lalu lebih baik menjadi "rahasia" semata? Hanya diketahui oleh dirinya, tak perlu diketahui oleh orang lain bahkan masa depannya. Lalu ketika hal itu dianggap sudah rapi tersimpan tapi tiba-tiba terkuak dan mengancam kehidupannya, apa yang harus dilakukan? Ketika penerimaan belum terucap dalam hati perihal kejadian yang telah terjadi, apakah waktu bisa membimbing kita memaafkannya? Ataukah diri kita yang sudah seharusnya mengalah dan menerimanya?

Mungkin itu adalah sebagian dari hal yang ingin didiskusikan Nastiti Denny dengan pembaca melalui novelnya. Sebagai novel pemenang naskah pilihan "Wanita dalam Cerita", karya ini memikat sejak awal. Tendensi yang dibangun dengan sebuah sentakan yang tak biasa, mimpi buruk yang dialami oleh Sekar akibat trauma psikis pertengkaran kedua orang tuanya, mampu membuat pembaca untuk terus bertanya ada apa di halaman selanjutnya.

Sekar ialah sosok wanita karir yang memutuskan untuk resign dari pekerjaannya dan memilih untuk menjadi istri rumahan yang baik. Keputusan sulit yang diambil demi harapan rumah tangga yang lebih baik, rumah tangga yang tak seperti ayah dan ibunya. Di saat Sekar mulai berusaha dengan perubahan aktivitasnya, rahasia tentang perceraian kedua orang tuanya secara tak sengaja diketahui oleh Prabu, suaminya. Perhelatan pun terjadi, menyebabkan kerenggangan hubungan di antara mereka. Belum selesai dengan itu, Bram dan Larasati hadir di tengah kehidupan mereka. Menghadirkan kenyataan tentang masa lalu Prabu. Masa lalu yang membawa kondisi rumah tangga mereka di ujung tanduk.

(+)
Dengan POV orang ketiga, penulis piawai membawa ide cerita tentang kehidupan rumah tangga urban masa sekarang. Penulis mampu memberikan dimensi yang berbeda tentang beberapa permasalahan yang ditemukan dalam sebuah rumah tangga. Hal lainnya, dengan gamblang penulis menghadirkan sebuah eksplorasi yang luas dari sosok wanita modern melalui tokoh Sekar. Hal tersebutlah yang membuat Bukan Salah Waktu terkesan begitu dekat dengan pembaca.

Deskripsi yang detail (setting, latar, suasana, emosi) begitu memanjakan imajinasi pembaca. Hal ini serta merta didukung oleh pemakaian diksi (yang tepat) yang disajikan penulis, membuat alur cerita terasa mengalir dan ringan dibaca. Hal ini pula yang menghilangkan kekhawatiran akan proporsi narasi dan dialog yang tak seimbang dalam novel ini.

Plot cerita terasa kuat akibat banyaknya kejutan-kejutan konflik yang banyak. Membuat pembaca menerka-nerka dan penasaran pada halaman selanjutnya.

Design cover yang simple namun tetap eye catching membuat pesona tersendiri. Kehadiran blurb yang padat dan jelas terlihat mampu merepresentasikan (Bukan) Salah Waktu secara sekilas. Kombinasi yang pas antara keduanya dan sangat sinergis dengan cerita.

(-)
Gambaran fisik terhadap tokoh utama (Sekar, Prabu) kurang jelas. Hal ini menjadi tanda tanya ketika sosok Bram justru digambarkan secara fisik, jelas.

Penyelesaian dari konflik yang cenderung lemah dan terlihat menghilang. Entah sengaja (apa mungkin karena gaya penulis), dengan menimpang konflik yang satu dengan konflik yang lebih besar lainnya.

Masih terdapatnya kesalahan penulisan dan kesalahan informasi, seperti apakah pekerjaan ayah Prabu di perusahaan minyak atau di badan pertanahan?


Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, novel ini sangat cocok untuk para dewasa muda.

(jumlah: 495 kata)
-----


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Review Novel (Bukan) Salah Waktu

Read full post »

Senin, 12 Mei 2014

Resensi Sang Patriot - Harga Diri adalah Harga Mati! Merdeka!

3 komentar

Judul : Sang Patriot - Sebuah Epos Kepahlawanan
Penulis : Irma Devita
Penerbit : Inti Dinamika Publishers
Cetakan, Terbit : Cetakan I, Februari 2014
Tebal : xii + 268 hlm
Harga : 
ISBN : 978-602-14969-0-9

Blurb

Sesosok jasad terbujur kaku di meja yang sengaja diletakkan di pelataran mushalla. Terbaring dalam hening. Tampak agung walau tersungkur bergenang darah mengering dari luka menganga di wajah yang bola matanya raib tercabut dari tempatnya.... Tubuh berperawakan sedang namun berisi itu menjadi saksi bisu kekejaman tangan-tangan yang pernah mendera, penuh lubang peluru dan cabikan bayonet. Tulang kepala berambut ikalnya retak, terdera popor senapan. Satu... dua... tiga... jari-jari tangan sang jasad tak lagi lengkap, hilang sebagian. Jari-jari itu biasanya lincah memetik ukulele, melantunkan nada merdu.

*****

Harga diri adalah sesuatu yang teramat berharga. Jauh di atas segalanya. Apa guna hidup enak tapi tetap ditindas? Harta dan jabatan tak ada arti jika kita semata-mata tidak diakui. Hanya dijadikan sapi perah yang kemudian disedot susunya kemudian dibunuh jika tak bisa memberikan apa-apa lagi. Bukankah sebenarnya seluruh manusia sejak lahir adalah makhluk merdeka di muka bumi?

Kemerdekaan dan perjuangan, mungkin inilah yang hendak disampaikan oleh Irma Devita dalam novel berjudul Sang Patriot, Sebuah Epos Kepahlawanan. 

Novel ini berawal dari kisah Hasan dan Amni, dua orang tua sederhana Soerdji. Mereka adalah pribadi sederhana yang tinggal dengan penghasilan pas-pasan. Hasan adalah seorang pedangang keliling di pasar.

Soerdji lahir dengan kharisma yang luar biasa. Pancaran kecerdasan dan jiwa kepemimpinan terlihat semenjak masa kecil. Pembawaannya yang baik hati membuat dirinya mudah bergaul dan disenangi banyak teman. Salah satu keinginannya adalah bersekolah. Ia sangat bersemangat sekali bersekolah terutama setelah diajari baca tulis oleh kakaknya.

Soerdji tumbuh menjadi pribadi yang tampan. Sampai suatu ketika ia dipertemukan oleh Rukmini, seorang anak seorang guru. Mereka bertemu di pasar dengan skema yang tak terduga-duga. Alhasil, Rukmini terpaku pada pandangan pertama, bukan hanya karena ketampanannya tapi karena lirikan nakalnya yang terbilang tak biasa untuk ukuran perempuan seperti Rukmini, perempuan yang tak pernah dekat dengan laki-laki sebelumnya.

Nasib baik menjodohkan mereka. Rukmini bahagia bukan main kepalang. Perjalanan rumah tangga mereka sangat harmonis. Soerdji sangat romantis dan penyayang terhadap istrinya itu. Tak jarang ia memuji kecantikan perempuan ayu itu.

Bagaimana kelanjutan kisah cinta antara keduanya? Bagaimana kisah perjuangan Soerdji dalam membela tanah air? Apakah Rukmini merestui keinginan suaminya untuk membela negara? ...silahkan baca novelnya..


KELEBIHAN

Cover
Dibalut dengan warna merah dan jingga yang lebih dominan membuat Sang Patriot terlihat eye catching. Potret bagian belakang seorang pejuang yang sedang menatap bangunan yang disekelilingnya tampak hancur memperkuat nuansa yang sengaja ditimbulkan dari judul novel sendiri. Perjuangan dan patriotisme. Di bagian lain, hamparan langit dan awan putih yang bergulung semakin mendukung kharisma prajurit tempo dulu yang membawa samurai. Sangat memukau. Penempatan judul yang pas semakin mempercantik penampilan. Warna emas dari teks judul juga sangat serasi dengan kombinasi warna merah yang menyiratkan kesan keberanian. Benar adanya, jika dinilai, dari cover ini saja nuansa cerita sudah tercium dengan sangat jelas.

Untuk ukuran soft cover, model dan bentuk yang digunakan dari sampul novel ini tergolong baik. Bentuk cover yang sengaja dilipat ke dalam memberikan kesan yang nyaman saat dipegang dan dibaca. Beberapa pembaca akan merasa puas dan tidak khawatir dengan cover yang rusak sisi-sisinya sebagaimana kebanyakan novel yang bentuk covernya biasa saja.

Lahirnya Novel (Ide dan Moment)
Ide cerita yang sengaja dipilih oleh Irma Devita tergolong tidak biasa. Sebuah novel yang berkisah tentang sejarah. Jarang penulis yang menuliskan ini. Terbilang langka untuk ukuran zaman sekarang. Sejak masa Pram, dulu. Meskipun lahirnya novel ini merupakan keinginan pribadi sendiri yang semata-mata didorong atas keinginan memenuhi janji, secara tidak langsung memberikan sebuah nuansa yang baru dalam kepenulisan novel yang mengulik sejarah. Sumbangan yang tidak biasa. Sumbangan untuk bangsa yang mungkin lupa akan asal usul paham yang mereka sering koarkan.

Sang Patriot tak semata-mata potret sejarah yang kemudian ditulis ulang dalam bentuk fiksi. Kehadiran novel ini seakan benar-benar menyiratkan momentum dan kritik terhadap kondisi bangsa sekarang. Tepat bisa dikatakan seperti itu. Hal itu dikarenakan Sang Patriot lahir saat pesta demokrasi masih menguar di bumi Indonesia. Memberikan kesan yang berbeda di tengah kondisi politik bangsa yang mungkin sangat jauh dari nasionalisme modern dan kemerdekaan sejati. Sebagian pembaca yang menuntaskan novel ini mungkin akan mengira cerita di dalamnya merupakan teguran halus terhadap kondisi Indonesia. Tak salah, tak juga benar. Memang, Indonesia sudah merdeka secara pengakuan, tapi dalam praktik? Masih jauh. Jauh, karena masih banyak kemiskinan di tengah koruptor yang merajalela. Jauh, karena masih banyak penindasan di tengah permainan keadilan. Kesadaran akan harga diri dan kejujuran masih minim dalam hati masyarakat masa kini.

Cara Belajar Sejarah yang Unik
Hadirnya novel ini sebenarnya adalah solusi berbeda dari belajar sejarah yang kebanyakan orang enggan mengetahuinya karena disajikan oleh banyak buku dan arsip dengan sangat kaku. Kombinasi permainan alur serta konflik cerita yang diramu oleh penulis membuat siapa saja "ringan" mencermati satu demi satu kisah perjuangan Letkol Mochamad Sroedji (masa 1942-1949) dalam mempertahankan tanah air. Alhasil, dengan menjadikannya sebuah novel, Irma Devita secara tidak langsung ikut turut andil dalam proses perkembangan pembelajaran sejarah Indonesia. Dengan terbitnya novel ini, pembelajaran dapat dilakukan dengan cara baru, tidak hanya dengan membaca buku pelajaran sekolah saja.

Alur Cerita
Novel dengan tebal 268 halaman ini menggunakan alur cerita maju mundur. Cerita dibawakan dengan apik, meskipun harus beberapa kali mengulak masa lalu. Mulai dari masa-masa Soerdji bersekolah, membangun keluarga dengan Rukmini, bergabung di PETA, sampai kehidupan di sekitarnya dibawakan dengan rapi dan runtut. Dari naratif yang disajikan oleh penulis mampu membuat sejarah menjadi ringan untuk dibaca.

Membaca Sang Patriot sejenak mengingatkan saya kepada cerpen Firasat karya Dee dalam kumpulan tulisannya yang berjudul Rectoverso. Irma Devita terbilang sukses merekam sejarah Jawa pada masa itu. Kebudayaan dan kecenderungan masyarakat yang terbilang masih kental dan percaya terhadap ramalan, tanda-tanda serta firasat-firasat dituturkan dengan rasa gamblang. Begitu jujur sehingga pembaca yang menikmati alurnya merasa ada keterikatan kebenaran yang kuat antara firasat-firasat (atau ramalan zaman kerajaan dulu) yang dirasakan tokoh dengan keadaan dalam cerita.

Puitis dan Romantisme
Sang Patriot tak selalu bicara tentang perjuangan. Irma Devita menghadirkan sisi yang berbeda dari nuansa patriotisme yaitu kisah cinta. Pada beberapa bagian, pembaca akan terasa tersentuh dan mungkin malu untuk beberapa pengambaran (deskripsi) emosi yang ditampilkan penulis. Nuansa romantis dalam percintaan antara Rukmini dan Soerji yang jelas berbeda dengan penampilan percintaan masa kini, ditampilkan seakan-akan hampir sama dengan kondisi saat peristiwa sesungguhnya berlangsung. Malu-malu, rasa cinta yang dalam, dan kesetiaan yang lebih tampak dalam perbuatan, dihadirkan dengan sederhana, apa adanya namun terkesan nyata. Pada beberapa bagian, pembaca mungkin akan merasakan romantisme puitis yang menyentuh. Hal ini mungkin akan mengingatkan beberapa pembaca yang suka dengan aliran romantisme dalam novel sejenak teringat dengan kisah-kisah yang dihadirkan dalam novel Habibie dan Ainun.
Dua pasang mata yang bertemu berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Saat itu, seolah dunia berhenti berputar dan berporos hanya pada keduanya, Rukmini dan lelaki tampan pemetik ukulele. (hal. 19)

Penokohan
Untuk kriteria ini, novel Sang Patriot dapat dikatakan sangat mengagumkan. Tokoh yang dihadirkan sangat banyak. Walaupun Letkol Mochamad Sroedji sebagai tokoh sentral, masih banyak tokoh yang tak kalah penting yang dihadirkan oleh penulis. Sebut saja, Rukmini, Hasan, Amni, Letkol dr. RM Soebandi, Kolonel Sungkono dan masih banyak yang lainnya. Inilah tingkat kesulitan dalam novel terbitan Inti Dinamika Publishers ini. Kehadiran tokoh dalam cerita (sekalipun yang figuran) jikalau bukan karena riset yang terbilang cukup lama, mengumpulkan informasi yang lumayan banyak dari arsip-arsip sejarah, tak akan mungkin bisa terjadi. Belum lagi keahlian mengkolaborasikan beberapa sumber yang mungkin sama atau justru berbeda. Penulis dengan rapi, bersinambung dan sangat terkait satu sama lain, mampu menyajikannya dengan sangat baik. Maka tak ada salahnya jika pada sisi ini Sang Patriot sangat patut untuk dipuji.

Konflik dan Setting
Pembaca dibuat penasaran bahkan untuk pertama. Hal itu dikarenakan prolog yang disajikan dengan oleh Irma Devita dapat dikatakan sebuah "propaganda" terbilang sukses. Hawa mencekam, thriller dan misteri yang terkesan dari rangkaian kalimat itu berhasil menyihir pembaca untuk terus melanjutkan bacaannya hingga halaman terakhir. 

Pada beberapa bagian, penulis dengan sangat apik menggambarkan konflik dalam cerita. Operasi gerilya, penyerbuan tangsi-tangsi militer Belanda, peristiwa pengungsian keluarga Soerdji juga mampu menegangkan saraf pembaca. Kesinergisan cara bercerita penulis pada bagian-bagian ini patut diberi acungan jempol. Sangat proposional dan juga menggugah, baik secara emosi, imajinasi dan pesan moral.

Alhasil, pada bagian-bagian yang konflik terkesan nyata (sebagai contoh penyergapan tiba-tiba Belanda di Karang Kedawung) tak mungkin ada jika tak didukung dengan penggambaran setting yang sempurna. Kesesuaian logika cerita, kejutan-kejutan konflik dan dailog terbilang rapi pada bagian ini. Kepiawaian Irma Devita, dalam hal ini, berhasil membuat konflik puncak yang meninggalkan kesan melekat di pikiran pembaca.

Pesan 
Cinta kasih sejati, persahabatan, pengorbanan, itulah beberapa nilai yang akan didapat dari novel karya seorang praktisi hukum ini. Melalui kisah cinta dan kesetiaan yang ditunjukkan oleh Rukmini kepada Soerdji pembaca akan mengerti sejauh mana bahwa cinta dan kesetiaan tak hanya berasa dari kata-kata saja. Tindakan sebagai bukti nyata ialah yang sebenar-benarnya. Rukmini rela meninggalkan impiannya untuk melanjutkan sekolahnya demi menunjang keinginan suaminya untuk berjuang membela tanah air. Sebuah pengorbanan yang tulus dari seorang perempuan. Perempuan yang benar-benar mencintai suaminya. Perempuan yang rela hidup sengsara bersama suaminya di kala perang berkecambuk dimana-mana.

Kisah antara Letkol Mochamad Sroedji dengan Letkol dr. RM Soebandi mungkin dapat dijadikan salah satu bukti nyata sejarah dimana persahabatan memang ada yang sejati. Saling menopang, saling menguatkan di masa-masa sulit dalam perjuangan. Secara tersirat sebenarnya ini adalah pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca masa kini. Dimana era individualistik merebak sejalan perkembangan teknologi. Banyak yang lupa hakikat manusia yang sebenarnya karena terlalu dimanja oleh keringanan yang ditawarkan teknologi. Semata, bukankah manusia makhluk sosial yang tak akan bisa hidup tanpa bantuan sesamanya? Di lain sisi, hal ini juga berhubungan dengan tidak baiknya penghianatan. Jikalau persahabatan adalah kesetiaan, maka tak lain penghianatan adalah kebalikannya.

Novel yang unik dan bernuansa sastra. Banyak novel yang selalu menyelipkan potongan kata puitis tapi jarang ditemukan yang menyisipkan puisi utuh di dalamnya. Memang tepat jika Sang Patriot disisipkan puisi di dalamnya. Novel ini adalah novel sejarah dan hal itu identik dengan puisi karena banyak kalangan yang menghargai dan mengabadikannya jerih payah perjuangan dalam puisi. 

Kenanglah aku secara sederhana saja,
jasaku tak seberapa dibanding rakyat yang sengsara
yang rela berkorban harta benda
tanpa pangkat maupun tanda jasa

cukup kalian kenang cintaku yang besar pada negara
setia pada janji suci untuk tetap merdeka
sejukkanlah pusaraku cukup dengan doa
doa tulus untuk kami para syuhada

(potongan puisi Sajak Sang Pejuang - Irma Devita)


KEKURANGAN

Narasi dan Dialog Tidak Seimbang
Mungkin ini adalah salah satu argumen yang bisa didapatkan dalam novel ini. Narasi dan dialog tidak berimbang. Hal inilah yang kemungkinan besar menyebabkan plot pada awal cerita (bab-bab awal) terasa tidak kuat. Kekuatan emosi dari pembaca yang seharusnya tergugah akibat jalan cerita menjadi tak keluar. Kesan yang timbul, pembaca merasa lelah karena komposisi dialog yang seharusnya membangkitkan nuansa perasaan sangatlah kurang. Kehadiran dialog yang seharusnya mampu mengaduk-aduk emosi pembaca seakan ditarik oleh narasi. Alhasil, tidak bisa. Kehadiran dialog sangat penting untuk memberi "kehidupan" dalam sebuah novel.

Kombinasi narasi dan dialog mulai terlihat nampak pada tengah novel. Saat konflik-konflik mulai dibangun, nuansa sedih, mencekam, haru, takut sampai penasaran barulah terasa nyata. Hal itu serta merta membuat alur terasa nyata dan mengalir. Ppembaca barulah merasakan seperti apa persitegangan dengan penjajah, operasi gerilya, sampai penyiksaan pejuang dan rakyat jelata.

Bahasa dan Footnote
Sebagai novel yang berkisah pada zaman penjajahan Belanda, otomatis banyak istilah dan penggunaan bahasa diluar bahasa Indonesia seperti bahasa Jawa dan istilah-istilah pada zaman penjajahan. Sayangnya penulis luput untuk menyertakan catatan kaki untuk beberapa istilah-istilah maupun bahasa yang tidak dimengerti artinya. Memang di dalam novel ini disertakan daftar istilah pada bagian akhir, tetapi bagi sebagian pembaca itu terkesan merepotkan jika harus melihat ke bagian akhir kemudian meneruskan bacaannya (bolak-balik).

Emosi yang Agak Kurang
Kemampuan penulis dalam mendeskripsikan setting, dalam hal ini suasana dan tempat, terbilang sangat apik. Nilai informatif bahkan waktu kejadian sangat jelas. Tetapi, pada beberapa bagian emosi dari karakter-karakter tokoh masih kurang dieksplorasi. Hal itu terlihat dari penggambaran ekspresi sikap (perbuatan) dan wajah (mimik) yang terlihat kurang. Sebagai contoh perasaan Rukmini yang kemudian teringat dengan cita-citanya dahulu ketika ia telah bersuami Soerdji. Jikalau penulis menambahkan dialog dan penggambaran ekspresi pada bagian ini, maka terlihat jelaslah ekspresi kesedihan dan konflik batin yang didera oleh Rukmini.


***

Bumi Manusia dan Sang Patriot (dok. pribadi)

Sang Patriot, sebagai novel yang berbicara tentang sejarah, pastinya membuat banyak dari pembaca (yang menyukai roman sejarah) langsung tergugah untuk mengaitkannya dengan karya Pramoedya Ananta Toer. Sebut saja salah satu maha karya Pram yaitu Bumi Manusia (Tetralogi Pulau Buru). Walaupun sama-sama dikatakan novel/roman yang mengulas sejarah (pada masa itu), ada beberapa perbedaan mendasar dari kedua tubuh tulisan itu. Hal pertama yang sangat terlihat adalah perbedaan "masa" dari kedua penulis tersebut yang sangat memberikan dampak besar pada goresan penanya. Hal lainnya juga, Irma Devita cenderung lugas dan mengedepankan detail "benar" dari sejarah dalam tulisannya. Ini bisa ditemukan dari penggunaan tanggal dan tempat yang jelas (rekam sejarah) dan nama-nama para tokoh dalam cerita. Berbeda dengan Pram yang tidak terlalu objektif. Pram memasukkan sejarah dalam fiksi kemudian menyajikan ulang (dengan tubuh berbeda) tanpa menghilangkan nilai dari sejarah itu sendiri. Mungkin, Irma Devita memiliki kecenderungan pengungkapan jujur sejarah yang kurang lebih berasal dari background pendidikannya sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia hukum.


Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan, novel ini sangat patut mendapatkan tempat di rak buku pribadi anda. Kesederhanaan dalam goresan pena Irma Devita dapat membuat para pembaca mendalami kisah sejarah yang dituturkan. Tak hanya sekadar menyaksikan rekaman sejarah tapi jauh memaknai setiap keputusan-keputusan masing pejuang dalam mempertaruhkan nyawa mereka. Irma Devita terbilang berhasil menghadirkan Sang Patriot kembali dalam era yang terbilang lupa akan nilai nasionalisme akibat terlalu tenggelam dalam liberalisme dan egoisme. Sang Patriot ialah sumbangan yang berisi bagi masa kini.
3,5 of 5 star for Sang Patriot.




Read full post »

Minggu, 13 April 2014

Surat, Rinduku Bercerita. Sebuah Cerita yang Sebenarnya (3)

0 komentar
Dear Ziy,

Sebenarnya aku tidak tahu dimana keterkaitan antara kamu dan dirinya. Kamu seorang sahabat yang hanya ingin bersajak ria, dia adalah rahim dari sajak-sajakku. Dia sosok inspirasiku. Maklumilah ketidakjelasan hubungan ini, sahabat. Sesungguhnya aku hanya sedang sakit, pusing dan egois sendiri. Bukankah kamu tahu bahwa cinta diam-diam selalu mencari-cari pembenaran?

Kamu tahu, apa yang dikenakannya ialah bait puisi yang sengaja menunggu untuk aku tuliskan. Suatu ketika, aku sengaja menghadiri sebuah kegiatan organisasi di kampus. Tepat satu minggu setelah aku yakin bahwa dia adalah sosok yang sangat pantas untuk dicintai. Aku mendapatinya mengenakan kerudung merah. Ia duduk di depan, aku duduk di belakang. Dan ketika kegiatan usai, aku berpapasan dengannya, tapi hanya ada diam di antara kita. "Tatapku hanya bisa menyapu pundak dan kudungmu. Sendu. Kidungku tak mampu merengkuhmu".

Ziy, kebodohanku ini telah mengikis tubuhku. Aku kering kerontang. wajahku pun tirus. Kini aku telah sampai pada tahap tak bisa berpikir apa-apa. Aku yang tadinya bisa berangan pada kisah indah dengan dirinya, sekarang aku bahkan tak bisa membayangkan apa-apa lagi. Kini aku tak bisa lagi menerka-nerka lagi. Kini aku tak bisa membedakan lagi, mana imaji mana kenyataan.

Aku mengirimkannya rangkaian bunga sajak. Puisi-puisi yang aku buat dari dirinya. Dari pashmina yang dikenakannya, dari langkahnya yang mengabur di tanah, bahkan dari sapaan pertama yang masih aku ingat bagaimana merdunya. Tetapi, apa yang aku dapat? Langkahnya menjauh. Senyumnya hilang, tawanya pudar. Ia menghindariku. Tak ingin berada di dekatku bahkan untuk sekadar berbasa basi walau sebagai teman.

Aku mencintainya, tapi tak berani mengungkapkan. Dan ketika ia mulai menganggap semua telah baik-baik saja, aku memulai ritual itu kembali. Menebak-nebak hati. Dan disinilah aku kembali. Menagisi dan meratapi diri sendiri.

Ziy, tolonglah aku.

Dialah perempuan yang bernama perempuan. Perempuan pertama yang dicintai orang tuanya. Dan juga perempuan pertama yang begitu aku cintai sedemikian dalam ini. Perempuan yang membisik pada awan bahwa semesta punya sajak-sajak kerinduan. Sebuah bisikan yang hanya aku dengar, seorang diri.

Salam hangat,
Nurman

Read full post »

Surat, Rinduku Bercerita. Sebuah Cerita yang Sebenarnya (2)

0 komentar
Dear Ziy,

Izinkan aku bercerita sebentar. Kamu tahu apa yang selalu dirahasiakan dari rindu diam-diam? Senyum yang lahir dari kesendirian, senyum yang lahir dari imajinasi, dan senyum yang lahir malu, mungkin itu sebagian dari mereka. Berbagi ruang dengan tatap dibalik pundak kegelapan, sapaan canggung, serta sendu dan bahagia yang tiba-tiba menjadi teman, mereka mungkin hidup akur. Hidup dalam dua dimensi dari cinta yang berbeda. Cinta yang begitu pengecut, bagiku.

Ziy, aku telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada seorang perempuan yang merahimkan puisi dan sajak-sajak sederhanaku kemudian melahirkannya. Jatuh cinta pada perempuan yang merawat kesahajaan layaknya merawat anaknya sendiri dengan begitu sayang, menyusui begitu mereka menangis, menimang dan menyanyikan lagu kesukaan agar mereka tenang. Aku jatuh cinta padanya. Jatuh cinta yang begitu indah tetapi secara bersamaan begitu menyakitkan.

Sudah hampir tiga tahun aku mengamatinya. Mengamati tiap jejak-jejak langkahnya, mengamati tingkahnya, dan mengamati kehidupan di sekitar dirinya. Aku tertawa jika ia tertawa. Aku tersenyum jika ia tersenyum. Hanya saja aku tidak melakukan semua itu dengannya, di sebelah sisi kirinya.

Ziy, aku terjebak dalam kebodohan yang aku buat sendiri. Terhimpit dalam labirin yang aku rangkai dan berdiam diri untuk sengaja tidak keluar dari sana. Pikirku, menyimpan cinta sebagai rahasia adalah hal yang mulia. Tapi kamu tahu Ziy? Aku bukanlah salah satu manusia yang mampu memuliakan diriku sendiri. Aku belum mampu.

Kadang kepalaku terasa sakit sekali, sesekali aku hampir muntah. Aku merasa tak sanggup menerima kenyataan yang lebih tepatnya kuanggap sebagai semesta angan. Melihatnya tersenyum tapi tak bisa menciptakan senyumnya. Melihatnya tertawa tapi tak bisa membuatnya tertawa.

Hingga sampai ketika aku memutuskan, aku tak bisa hidup dengan penderitaan seperti ini. Maka dari itu aku merapikan diri. Menyimpan memori-memori tersebut dalam sebuah kotak kayu. Menatanya sebaik mungkin agar rindu-rindu yang tak pernah usai itu tak akan rusak dimakan tanah dan masa. Biarlah mereka hidup sebagai kenangan, lalu hancur dengan cinta yang ada di dalamnya, dengan sendirinya.

Akan tetapi, ketika aku bertemu denganmu, kotak yang sengaja kukubur itu mencuat kembali. Membuka dengan sendirinya. Mengeluarkan wangi yang selalu aku ingat, wangi yang aku namai sebagai rindu terpendam. Rindu yang mengatasnamakan dirinya sebagai rindu bahkan sebelum mencinta. Kamu tahu, manakah yang benar adanya dari sebuah kehadiran rasa, rindu atau cinta?

Kamu mengingatkanku pada dirinya. Bukan karena aksara-aksara yang sama. Bukan pula karena suguhan-suguhan secangkir rasa manja dalam tiap sesapan coklat yang kamu sajikan. Tetapi karena kalian seakan sama seperti selembar kertas dan pena. Dua teman yang selalu aku gunakan untuk menggoreskan rindu-rindu yang telah tumbuh subur ini.

Ziy, aku begitu bodoh kan?

Salam hangat
Nurman

Read full post »

Sabtu, 12 April 2014

Surat, Rinduku Bercerita. Sebuah Cerita yang Sebenarnya (1)

0 komentar
Dear, Ziy

Maaf aku tak bisa menepati janji. Tak bisa secepat mungkin membuat merpati balasan dari merpatimu yang datang di jendelaku. Tak bisa jua merangkai bunga rindu dari sajak-sajak yang saling mencinta, yang digoreskan tinta kita. Tak pernahkah kalau kamu berpikir bahwa kiranya kita adalah sepasang gelombang di lautan, mengombak bersama namun tak pernah sampai ke tepian?

Puan, kamu adalah sahabat yang paling aku sayang. Sedemikian sayang dan sedemikian dalam, sampai suatu ketika aku tak bisa terlepas darimu. Aku erat dipeluk kata-katamu dalam sebuah mahligai yang aku tak tahu apa. Di sana, aku menikmati semua sajian rindu dan senja kesukaanku hingga aku membuat keputusan yang aku tak pernah sangka. Aku tak ingin pergi dari sana.

Ziy, kamu telah salah sangka menilaiku. Aku sangat senang bermain makna, bermetafora, bahkan bercinta dengan aksara-aksara sucimu. Hanya saja semakin aku menikmati semua itu aku semakin letih. Aku semakin sakit. Sangat sakit, disini. Di hati.

Sesungguhnya itu semua bukan salahmu. Ini adalah kesalahan aku, murni kesalahan hatiku. Maka biarkan aku menyeka kesedihan dari raut wajahmu yang cantik itu. Izinkanlah aku untuk merapikan kembali satu per satu pesona yang selalu ditawarkan bulu matamu. Dan izinkanlah aku menulis ulang puisi dan prosa di bibir merah mudamu itu.

Jika kamu menilai bahwa kitalah makna dari sajak "Kau dan aku, sungguh sapaan itu begitu bisu" maka kamu telah salah memberi arti. Dengarkanlah cerita di balik semua kesalahpahaman ini. Ini semua tentang rindu yang begitu dalam, rindu yang begitu legam, rindu diam-diam.

Salam hangat,
Nurman

Read full post »

Jumat, 04 April 2014

Surat Kedua: Muramku Kebodohanku

0 komentar
Dear Ziy,

Terima kasih atas segala bentuk kepedulian dan perhatian yang selalu kamu curahkan tulus padaku. Aku sangat bersyukur memiliki sosok-sosok hangat seperti kamu. Sosok yang kerap menjengkal tiap kata dan tanda baca untuk sekadar mencari segaris lengkung pelangi di bibir para penyimpan perasaan. Sosok perempuan lembut yang tak segan berbagi kasih sayang walau hanya dengan segelintir senyuman maupun sebaris tulisan. Kamu tahu, semua yang kamu berikan padaku itu tak mungkin aku bisa balas dengan takaran yang sama bukan?

Ziy, aku ingin minta maaf. Aku ingin minta maaf atas segala kesalahan yang aku perbuat padamu. Atas keterlambatanku membalas suratmu, atas ketidaksetiaanku mengikat makna dari sajak-sajak sederhana kita, atas keacuhanku pada sapa-sapa sayangmu dan atas pesan-pesan rahasia kita yang kadang aku simpan tanpa kubaca satu per satu. Maafkan aku yang terlampau hina ini. Jujur, sesungguhnya aku tak mau seperti itu, sungguh tak mau. Maafkan aku, dibalik segala sikap dan keadaan yang tercipta di antara kita sesungguhnya ada alasan. Kamu percaya bukan?

Aku sedang jatuh sakit, Ziy. Sakit akibat kebodohanku telah memilih sepi dan sunyi sebagai teman hati. Sakit akibat kebodohanku terlalu lama mendekam dalam kubangan beku kebisuan tanpa bisa berani bergerak dari sana. Tubuhku sehat, tapi aku membatu kaku. Aku terlalu pengecut, Ziy. Terlalu bodoh memilih bahwa diam adalah jawaban atas semua perasaan. Dan inilah hasilnya, aku sakit, begitu sakit. Sakit yang mendorongku hingga jatuh begitu dalam, gelap dan tenggelam. Sakit yang memaksaku merengkuh dada pelan-pelan hingga terpejam.

Itulah salah satu dari rahasia keadaan. Aku butuh waktu untuk berdamai dengan diri dan hati. Maka, maafkanlah aku Ziy. Karena keadaanku yang seperti ini, aku terlambat membalas surat darimu. Itulah juga sebabnya beberapa waktu ini aku telah kehilangan kata-kata, tak bisa membalas untaian metafora yang sengaja kamu taburkan. Sajak-sajakku telah mati, bersama hilangnya sosok inspirasi.

Akhir kata, terima kasih atas suratmu. Paragraf-paragraf itu sangat jujur membaca rasaku.

Salam hangat,
Nurman

Read full post »

Kamis, 27 Maret 2014

Surat Pertama

5 komentar
Dear Ziy,

Bagaimana kabarmu disana? Masih di Bandung kan? Semoga baik-baik saja ya :)

Sepertinya sudah lama aku tak pernah membuatkanmu sebuah tulisan. Atau hanya sekadar mengirimkan salam sapa yang terangkai menjadi sebuah paragraf, dua, tiga maupun sampai satu halaman. Iya, sudah agak lama, semenjak "pertemuan" pertama kita. Maafkan aku ya *pasang senyum paling manis* :D. Oh ya, aku baru saja membaca postingan terbaru di blogmu yang judulnya Tentang Menunggu. Hehehe, seperti biasa tulisanmu yang sering aku baca (diam-diam) terasa begitu jujur, apa adanya. Lagi kesel ya sampai buat tulisan seperti itu? :)

Pertama kali lihat judulnya, aku langsung berpikir tentang rindu. Hehe, maaf ya, maklumi sisi melankolisku yang kadang terlalu berlebih ini. Sejenak aku mengira bahwa kamu sedang rindu pada seseorang yang kamu hadiahi dengan tulisan itu. Ternyata, tebakanku salah. Aku kalah taruhan deh #eh

Oh ya, melihat postinganmu itu aku jadi ingin bercerita sejenak. Kalau boleh, izinkan aku menanggapinya sedikit yah? Boleh kan? Ziya baek deh :) hehehe.

Sama sepertimu, menunggu bagiku adalah salah satu dari sekian banyak hal yang aku nilai terlampau sulit untuk dilakukan seorang diri. Bagiku, menunggu adalah salah satu akar dari kesabaran. Menunggu, bagiku, juga tentang rindu yang berharap pada doa untuk segera bertemu. Menunggu, bagiku, juga tentang kesetiaan dan komitmen. Kesetiaan ini adalah tentang bagaimana usaha untuk memegang teguh sebuah janji. Iya, janji yang seketika diucapkan itu melibatkan lidah, hidung, mata, seluruh kehidupan yang ada di dirinya maupun kehidupan yang ada di sekitar janji itu menjadi sosok-sosok saksi. Maka dari itu, bagiku menunggu juga memiliki sisi kesetiaan. Kesetiaan untuk menepati janji, dan komitmen untuk tidak mengingkari. Tentang seseorang datang dan menunggu, tentang seseorang menunggu dan tidak pergi.

Tapi Ziy, kamu tahukan bahwa aku dan kamu ialah salah satu dari sosok-sosok yang tak sempurna? Iya, kita manusia biasa. Makhluk yang selalu diliputi lupa atau dosa. Mungkin saja, temanmu itu ingin sekali bertemu denganmu. Ingin sekali berkelakar denganmu ditemani secangkir kopi hangat. Sekarang ini, Ia mungkin juga merasa menyesal yang sama ketika dirinya tak bisa menepati janji yang dibuatnya. Mungkin saja dirinya sudah berusaha keras untuk menepati janjinya itu, mungkin karena itulah pernyataan menyesalnya datang sedemikian terlambat. Oleh karenanya, berikan dirinya satu kesempatan lagi padanya. Bukankah kalau kamu tak memberinya kesempatan, berkuranglah teman yang sedemikian dekat denganmu?

Maafkan aku Ziy, aku bukan ingin mengguruimu. Aku hanya ingin menghiburmu. Aku tahu bahwa kamu paling suka dengan hal yang lucu, bukankah begitu? (aku sok tau yah? :D). Bicara menyesal, kadang aku termasuk orang yang sama yang kamu sebutkan dalam tulisanmu itu. Bukan karena tak mau, tapi memang karena tak bisa. Aku terlampau bahagia ketika aku diajak keluar oleh beberapa orang teman. Spontan aku mengiyakannya. Tapi kadang apa yang aku harapkan tak menjadi kenyataan. Aku membatalkannya bahkan saat tinggal akulah terakhir yang sedang ditunggu.

Oleh karena itu, berbaik hatilah Ziy. Sebaik perlakuan dirimu kepadaku selama ini. Jika kamu tak bisa memberikan kesempatan sekali lagi kepadanya, apakah kamu juga tidak akan memberikan kesempatan yang sama kepadaku jika akulah yang membatalkan temu itu?


Salam hangat,
Nurman

Read full post »

Sabtu, 22 Februari 2014

Pergelangan Tangan Kirimu

7 komentar
Mendapatimu kemarin seperti sapa embun pada dedaun
lembut pada mata, kala binar membangunkan kelopaknya
begitu sejuk, begitu tenang
walau sebentar dan kemudian menghilang

Hijau yang menyelimutimu membisik di telinga
berkisah ihwal kenangan dan angan
menelusup dan berputar-putar di kepala
aku tersenyum tak bisa melupakannya

Puan, aku ingin bersaksi padamu
tentang rahasia yang terpendam pada kubangan yang kubuat sendiri
yang terjebak kata-kata bisu
dan tersimpan menjadi usang dan berdebu

Bahwa aku memotret tiap senyummu
membingkai baik-baik segala keceriaanmu
lalu menjadikannya satu pada sebuah album
yang kusimpan hati-hati dalam kalbu

Aku terlampau lupa sejak kapan
hingga hijau dirimu kemarin menyadarkanku
pada detik-detik pertama di pergelangan tangan kirimu
aku memulai semuanya itu

Makassar, 2014

Read full post »

Kamis, 20 Februari 2014

Sebuah Sajak Malam

0 komentar
Credits

Kepada malam yang senantiasa menenangkan
kutitipkan sekotak kerinduan
berharap dirinya menjelma sosok sang penyayang
pemberi ciuman pada kelopak mata
ketika dirimu kembali terjaga

Makassar, 2014

Read full post »

Kamu, Malam, Rembulan

0 komentar
Malam ialah simfoni kerinduan
petikan-petikan gitar yang kadang tertahan kemudian mengalun pelan
buaian para perempuan pecinta sosok pulang
yang menunggu maupun ditawan, oleh rembulan

Ialah kamu binar di tengah temaram
pemberi suci, hidup di sebuah nadi
keistimewaan yang utuh, menyempurnakan
mengapa tak berbeda antara dirimu dan rembulan di tengah malam?

Tak sampai akal berpikir dua
begitu pula bintang yang mengaduh
ketika dirinya terlihat gelap di sisimu
sebab terlalu indah untuk sepasang mata

Semoga malam tetaplah malam
dimana engkau bersinar terang
penyandang sajak-sajak kerinduan

Makassar, 2014

Read full post »

Rabu, 19 Februari 2014

Kerudung Merah

2 komentar
Tak ada hari yang indah ketika mendapatimu mengenakan kerudung merah
warnanya mengingatkanku pada rona senja yang dicintai para perempuan setia
aku tahu, mereka tak sama, tapi sesederhana itulah fatwa-fatwa pesona
yang kemudian membuat para penapak jejak heran akan detik yang tak berdentang
sebab waktu mengambil sejenak dirinya tuk terpana
ah, sadarkah dirimu begitu istimewa?

Makassar, 2014

Read full post »

Jumat, 10 Januari 2014

Genggam

2 komentar
Aku disini
kamu disana
terpisahkan depa jarak yang merindukan
mencoba mendekap dalam sebuah doa
berharap hati menggenggam setia
saling menguatkan

Bantimurung, 2013

Read full post »

Kamis, 02 Januari 2014

Ketika Kita Mulai Saling Menyapa dengan Sajak-Sajak Sederhana

8 komentar
Credits

Senja hari dipeluk hujan. Aku termenung di depan layar putih. Iya, udara yang dingin membuatku betah berlama-lama di tempat tidur. Sehari itu aku habiskan dengan membaca dan berselancar di dunia maya. "Ah, memang tak ada teman sejati hari ini selain laptop hitam kesayanganku" gumamku pelan. Kutatap jendela kamar, lekat-lekat kuperhatikan embun hujan disana. Tiba-tiba aku berpikir. Sepertinya bagus jika aku berkicau tentang apa saja yang aku rasakan hari ini. Perihal kegundahan hati maupun kebahagiaan yang sepi.

Kubuka akun twitterku. Kutuliskan beberapa kalimat, entah itu sajak atau hanya gumaman lewat saja. 
Terima kasih, sudah membuatku jatuh ke dalam. 
Masih merindukan moment-moment kala aku duduk di samping jendela, menatapmu yang kian berlalu dari kereta.  
Karena tak mudah menyimpan cinta dalam diam dan mencintaimu hanya dengan sebuah tulisan. 
Ketika masa lalu mulai memasung waktu di dada, aku terdiam. Antara mati atau menusuk mata.
Tapi, hal yang tak terduga terjadi. Ada salah satu akun yang me-reply tweetku tersebut. Aduh, sejenak aku minder dan malu. Bagaimana tidak, ketika kulihat ava-nya, ia seorang perempuan berparas cantik. Ragu-ragu, mataku mulai penasaran mencari. Siapa sih perempuan ini? Deg! Aku kaget, untungnya tak sampai mental ke dinding. Ternyata ia berasal Bandung dan ia seorang penulis! Antara gembira dan bimbang. Gembira karena ada penulis yang me-reply tweetku, bimbang karena tak tahu mau membalas tweetnya dengan kata-kata apa. Iya, kebimbangan timbul karena kelebihan dirinya yang sebagai penulis itu.

Pelan-pelan kuatur napas. Menghembuskannya pelan diselingi dengan harap. Semoga semesta ide memilihku untuk menuliskannya. Alhasil, bak seorang laki-laki dingin yang kelihatannya keren (padahal tidak) terjadilah percakapan sederhana di antara kita.

@gubukteduh: 
Ketika masa lalu mulai memasung waktu di dada, aku terdiam. Antara mati atau menusuk mata.
*tak lama kemudian*

@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Ketika masa lalu berkelakar dengan cinta, aku membisu. Antara koma atau atau berperan ambigu.
@gubukteduh → @Agyasaziya_R
Ah, tak lain sama, seperti itu. Sekadar mengambil waktu untuk mengaku. Kamu dan masa lalu, ialah cintaku, dulu.
@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Aku masih di tempat itu, dimana dirimu dan remah-remah kenangan yang kupinjamkan, masih ada tanpa sembilu.
@gubukteduh → @Agyasaziya_R
Tak pernah kukira itulah kenyataan. Ketika kuputuskan mengantar pergi kenangan, meninggalkan. Maafkan aku kesayangan.
@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Kenangan masih di rantai mimpi. Mimpi yang kau rajut dengan pola filosofi...tapi tanpa aku, yang kau ajari bagaimana menjejak dan berdiri.
@gubukteduh → @Agyasaziya_R
Kini...aku tahu tafsir mimpi tadi malam. Ketika kamu datang mengenakan kerudung hitam. Berkilau, namun terpejam.
@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Ahh, lama sekali dirimu sadar. Aku selalu datang setiap malam. Melihatmu dari jendela, menginginkanmu seperti tafsir satu rindu.
@gubukteduh → @Agyasaziya_R
Biarkan seperti itu. Kini kita tak mungkin bersatu, melawan waktu. Aku hanya bisa merajut rindumu, memakainya sebagai baju.
@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Aku tahu. Tapi hela napas ini masih ingin sependapat dengan hati. Kamu...milikku, meski harus kuserahkan pada masa lalu.
@gubukteduh → @Agyasaziya_R
Dekaplah dirimu kuat dengan keikhlasan. Perlahan, kamu akan melangkah menuju kebahagiaan. Aku akan mengantarkan, melambaikan tangan.
@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Coba saja kau lepaskan aku, tunggu sampai satu belati merebut urat nadimu

---The End---

Setelah tweet darinya itu, aku menutup percakapan dengan kata "The End". Tak kusangka ia membalasnya dengan tawa dan canda ("hahaha the end mulu ah"). Sejenak aku membayang. Dirinya lucu, penuh tawa dan keceriaan. Aku sebenarnya penasaran, hehe. Terima kasih kak @Agyasaziya_R atas kesediaannya menyapa diriku ini yang tak sekadar tumpukan kata-kata usang. Kata-kata kakak seperti mata air yang melepaskan kedahagaan, kesederhanaan yang selalu memberikan manfaat dan kehidupan. Terima kasih telah menyisipkan sedikitnya ruh pada sajak sederhana. Membuat mereka tak hanya indah dibaca mata tapi hidup sebagai sebuah kisah. Salam yang paling sopan kuberikan dengan tulus dari palung jiwa yang paling dalam. Kepada perempuan indah pemilik dekap kata paling setia. Apa mungkin di kehidupan mendatang kita dan kata-kata bisa menjadi sebuah cerita?


Makassar, 31 Desember 2013

Read full post »
 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger