Minggu, 24 Agustus 2014

Karena Puisi ialah Caraku Menjengukmu Kembali

4 komentar
Maka tinggallah sebentar dalam kata-kata ini
sebab hanya dalam puisi
dirimu masih kumiliki*


Mukjizat Amman

Tahukah kamu apa itu rindu? Ya, mungkin kamu tahu. Aku sangat yakin kamu mengerti. Karena kamu termasuk manusia yang merasa, punya panca indera. Aku juga yakin kalau kamu tak hanya sekedar tahu. Sepanjang perjalanan hidup, manusia tak mungkin melewatkannya. Kamu pun jua, pasti pernah mengalami. Bahwa merindu adalah pekerjaan menanti, pekerjaan yang menyakitkan sekaligus menyayangi. Tapi apakah kamu tahu bahwa ada rindu yang biru? Rindu yang terlalu sakit. Rindu yang lebam karena telah luka, tak pernah dibasuh hingga busuk begitu saja?

Sebenarnya, aku ingin mengungkap rahasia. Aku sedang merindukanmu. Merindukan kehadiranmu. Tatapanmu. Senyummu. Kacamata yang selalu bertengger tepat di kedua mata cokelat itu. Aku merindukannya. Semuanya. Dan itu membuatku menderita karena aku dihadapkan pada realita bahwa dirimu tak lagi bisa aku sapa, sentuh, dan sayangi lagi. 

Apakah kamu ingat setiap perjalanan pulang kita? Lebih baik aku memberitahumu duluan, aku mengingat setiap rinci kejadian itu. Tak ada yang romantis tapi bagiku itu adalah sebuah perjalanan yang manis. Singkat namun terasa panjang dan menenangkan. Karena hanya dengan tanyamu aku bisa tersenyum, dengan jawabanmu yang sering kali malu, dengan tatapanmu yang tak pernah aku bisa selami dalamnya, aku menikmatinya. Aku mengingat semuanya. Menikmati semua dengungan lagu yang kamu lantunkan. Tak ada nada, tak ada lirik sempurna, hanya suaramu dan ramainya jalanan. Aneh, tapi hal itu cukup membuatku merasa nyaman.

Hingga pada akhirnya keindahan yang ku nikmati itu usai dengan sendirinya. Dan sayangnya, kita tak bisa apa-apa. Kesalahan terjadi begitu saja. Sadarkah kalau kita berdua memang terlalu keras kepala?

Bukan maksudku untuk bisu, aku tak memilih untuk tak memanggilmu. Sejujurnya, dalam diam rindu ini aku rawat hingga dia menghitam. Kini, aku bingung antara memilih mencintai dan membenci. Aku tahu, ini egois. Tapi apakah aku salah? Aku hanya manusia! Dan saat kita sadar, kita telah terlambat. Bahwa apa-apa yang telah terjadi tak mungkin dipungut kembali. Seharusnya kamu sadar bahwa aku tak bisa dicemburui, seharusnya aku sadar kamu tak biasa dimarahi, dan seharusnya kita sadar apa-apa yang tak bisa kita lengkapi.

Maafkan aku. Jikalau saja malam itu kamu tak memelukku, aku tak akan pernah ada disini. Menulis puisi untuk menjengukmu kembali.

Malam ini, entah malam keberapa kalinya, aku seperti orang bodoh yang tak ada kerjaan. Bertengger di sudut gelap Fakultas Sastra, hanya untuk sekadar menunggu dan melihatnya pulang. Hanya untuk sekadar membenarkan pertanyaan atas rindu-rindu yang kini telah lebam.

*

Nur Afifah Hasanah

Dahulu aku perempuan yang kuat. Perempuan yang mengganggap bisa berdiri di kaki sendiri. Aku tangguh dan begitu teliti, membuatku benar-benar tak mudah untuk mempercayai. Tetapi, sekarang aku bukan seperti itu. Aku perempuan yang terlalu lemah, bahkan untuk sekadar melepas sapa dan tanya. Tahukah apa yang telah dirimu perbuat kepadaku? Bahwa hadirmu telah merusak hidup dan hatiku? Tahukah kamu telah mengiris mereka dan membawa sebagiannya pergi?

Aku tak pernah sadar memiliki sesuatu sampai aku sadar ada yang hilang. Ya, perasaanku sebagian telah hilang dan itu membuatku takut. Aku tak pernah bisa berani sekarang. Karena keberanianku mendadak terkikis dengan langkahnya yang teramat pelan mengabur. Tak kamu lihatkah bahwa diriku hanya pura-pura tegar? Pura-pura tertawa? Bahwa jauh dalam diriku selalu ada ruang yang membuatku sendiri.

Aku ingin mengaku. Aku mencintaimu. Sungguh. Sudah terlanjur jatuh dan teramat tenggelam. Membuatku benar-benar tak sadar hingga ketiadaanmu membuatku merasa hampa. Aku memang bodoh, terlalu kaku dan acuh. Bahwa dirimu ialah lelaki yang terlalu perasa. Seharusnya aku sadar dan mengerti, sudah semestinya sejak lama aku mengatakan jikalau aku benar-benar cinta.

Kini aku menyakiti diriku lagi. Mengingat-ingat seluruh leluconmu, pertanyaanmu dan semua tingkah kecil yang selalu manis buatku. Aku ingat bagaimana candamu ketika kita pulang mengendarai sepeda motor kesayanganmu itu. Kamu mengaku kedinginan dan memintaku untuk memeluk punggungmu. Andai saja kamu tahu, diantara pukulan tanganku dan penolakanku ada debar malu antara keinginan dengan kepura-puraan.

Aku ingin menangisi kebodohanku, kebodohanmu, dan kebodohan kita. Hingga kini, kita tak berani untuk bertemu atau sekadar bertegur sapa. Jadi, maafkan aku yang terlalu angkuh, terlalu tak percaya, dan menjerumuskanmu dalam liang ketidakpedulian, seperti diriku dulu.

Malam ini, entah malam keberapa kalinya, aku seperti orang bodoh yang tak ada kerjaan. Berdiri mematung di sisi taman sambil menatap kosong ke rerimbunan pohon yang selalu sama. Berharap dirimu ada di sana, menungguku, untuk kembali pulang bersama.


Catatan:
* ialah potongan dari puisi @el_nafyza yang berjudul Hanya dalam Puisi, Dirimu Masih Kumiliki

Read full post »

Senin, 11 Agustus 2014

Karena Selamanya Tidaklah Cukup Lama Bagiku (Bagimu)

2 komentar


Selama-lamanya tidaklah cukup lama bagiku
Rasanya aku telah cukup lama bersamamu
Lupakanlah dunia, takkan kita biarkan mereka melihat
Tapi masih ada satu hal yang harus kita lakukan

Kepada Tuhan, sudah semestinya kita sampaikan terima kasih teramat dalam. Firman-Nya telah membuat kita paham ihwal masa dan kesabaran. Tentang bersama, menjaga dan tidak menyianyiakan apa saja. Bahwa kalimat-kalimat benar itu menyadarkanku akan genggaman dan berbagai temu; kita. Maka, lupakanlah dunia dengan segala kefanaannya. Mereka tak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi: dalam hati kita. Karena itu, percayalah. Cukup anggukan kepala dan kita akan mulai semua dari "selamanya".

Karena kini beban telah terangkat 
Cinta tentu telah mengalihkan jalanku

Aku pernah percaya pepatah, tentang air dan batu; (cintaku ialah tetes yang jatuh padamu). Bahwa apa yang seharusnya diperjuangkan akan menuai hasil yang gemilang. Maka ketika aku bertemu denganmu: hingga kini, aku mengerti. Beban yang (lama) aku pikul telah ringan bersamaan dengan masing-masing penerimaan kita. Cinta telah menuntun kita, dan masa (dengan begitu romantisnya) yang me-nyata-kannya. Bukankah kamu percaya kalimat itu?

Menikahlah denganku
Hari ini dan hari-hari berikutnya
Menikahlah denganku
Katakanlah kau mau
Bersama tidaklah cukup dekat bagiku
Rasanya aku telah cukup dekat denganmu
Gaunmu putih dan kan sering kuucap kata aku cinta padamu
Dan kau cantik
Karena kini penantian telah usai
Dan cinta akhirnya menunjukkan jalanku padamu

Maka, tolong janganlah menangis, sayang. Apakah keharuan ini terlalu biru? Tak ada yang terlalu istimewa selain dirimu. Gaun putih, paras selembut awan, dan mata dengan tatapan yang selalu memenjarakan (aku). Sungguh. Betapa! Tak sadarkah kecantikanmu sungguh terlalu? Karenanya, tolong berhentilah. Seka air mata dan tersenyum. Dengarkan; tak ada yang lebih sempurna dari aku dan kamu yang menyatu. Karena dekap, degup (jantung), dan dekat (lekat) sungguh tak benar-benar cukup untuk memaknai apa yang telah luruh dari langkah-langkah kita yang selalu berirama sama. Karenanya, (sekali lagi) tolong janganlah menangis. Kesedihan dari gugu isakmu telah melebihi cukup--baik dahulu maupun sekarang. Penantian kita yang lugu telah saling menemukan. Aku ingin pulang. Pada sebuah rumah yang hanya ada aku, kamu dan cinta yang lapang--selalu.

Berjanjilah padaku
Kau kan selalu 
Bahagia di sisiku
Aku berjanji
Kan menyanyi untukmu
Saat dan hingga musik musnah

Kita pernah tertawa pada janji-janji yang tak pernah termiliki. Kita pernah berandai pada mimpi-mimpi yang terlalu tinggi. Kita pernah saling mengerti bahwa tak semua kesepakatan berakhir tertepati. Kita juga yang selalu kompromi bahwa di dunia ini selalu ada hal yang tak pasti. Bahwa setiap hal (selalu saja) ada yang belum bisa dimengerti; dan itu pertanda bahwa kita tak selalu punya jawaban. Di antara kedua dari kita, akulah yang bodoh, dan selalu kamu yang menjelaskan. Tetapi, (kali ini saja) izinkan aku yang menjabar makna semuanya. Bahwa tentang janji, mimpi, dan nyanyian sunyi yang selalu kita tertawakan adalah benih dari rasa yang tumbuh di hatiku: di hatimu. Maka mengertilah sekarang, mulai saat ini--baik aku maupun dirimu--akan satu bahagia, satu rahasia, dan satu nada. Hingga nantinya tiada yang memberi jeda di antara kita.

Dan menikahlah denganku 
Hari ini dan hari-hari berikutnya
Andai kupunya nyali tuk menyapamu di kafe saat itu
Katakanlah kau mau

Jika pengandaian ialah raja, sesungguhnya tak akan pernah ada tanya dan sapa. Jadi, jangan jadikan ini semua ibarat asa semata, karena semua ialah nyata. Cukup menjawab saja. Karena disinilah kita (berada). Duduk di antara sebuah meja (dekat jendela), dengan seikat bunga (sebagai saksi buta) dan yang aku tunggu hanya kata "mau"mu saja.
"Menikahlah denganku...untuk hari ini dan hari-hari selanjutnya"



(Tulisan ini terinspirasi dari sebuah Cerita dalam Lagu yang berjudul "Menikahlah Denganku, ya?" by @el_nafyza, diadaptasi dari lagu Marry Me by Train)

*sumber gambar disini

Read full post »
 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger