Kamis, 27 Maret 2014

Surat Pertama

5 komentar
Dear Ziy,

Bagaimana kabarmu disana? Masih di Bandung kan? Semoga baik-baik saja ya :)

Sepertinya sudah lama aku tak pernah membuatkanmu sebuah tulisan. Atau hanya sekadar mengirimkan salam sapa yang terangkai menjadi sebuah paragraf, dua, tiga maupun sampai satu halaman. Iya, sudah agak lama, semenjak "pertemuan" pertama kita. Maafkan aku ya *pasang senyum paling manis* :D. Oh ya, aku baru saja membaca postingan terbaru di blogmu yang judulnya Tentang Menunggu. Hehehe, seperti biasa tulisanmu yang sering aku baca (diam-diam) terasa begitu jujur, apa adanya. Lagi kesel ya sampai buat tulisan seperti itu? :)

Pertama kali lihat judulnya, aku langsung berpikir tentang rindu. Hehe, maaf ya, maklumi sisi melankolisku yang kadang terlalu berlebih ini. Sejenak aku mengira bahwa kamu sedang rindu pada seseorang yang kamu hadiahi dengan tulisan itu. Ternyata, tebakanku salah. Aku kalah taruhan deh #eh

Oh ya, melihat postinganmu itu aku jadi ingin bercerita sejenak. Kalau boleh, izinkan aku menanggapinya sedikit yah? Boleh kan? Ziya baek deh :) hehehe.

Sama sepertimu, menunggu bagiku adalah salah satu dari sekian banyak hal yang aku nilai terlampau sulit untuk dilakukan seorang diri. Bagiku, menunggu adalah salah satu akar dari kesabaran. Menunggu, bagiku, juga tentang rindu yang berharap pada doa untuk segera bertemu. Menunggu, bagiku, juga tentang kesetiaan dan komitmen. Kesetiaan ini adalah tentang bagaimana usaha untuk memegang teguh sebuah janji. Iya, janji yang seketika diucapkan itu melibatkan lidah, hidung, mata, seluruh kehidupan yang ada di dirinya maupun kehidupan yang ada di sekitar janji itu menjadi sosok-sosok saksi. Maka dari itu, bagiku menunggu juga memiliki sisi kesetiaan. Kesetiaan untuk menepati janji, dan komitmen untuk tidak mengingkari. Tentang seseorang datang dan menunggu, tentang seseorang menunggu dan tidak pergi.

Tapi Ziy, kamu tahukan bahwa aku dan kamu ialah salah satu dari sosok-sosok yang tak sempurna? Iya, kita manusia biasa. Makhluk yang selalu diliputi lupa atau dosa. Mungkin saja, temanmu itu ingin sekali bertemu denganmu. Ingin sekali berkelakar denganmu ditemani secangkir kopi hangat. Sekarang ini, Ia mungkin juga merasa menyesal yang sama ketika dirinya tak bisa menepati janji yang dibuatnya. Mungkin saja dirinya sudah berusaha keras untuk menepati janjinya itu, mungkin karena itulah pernyataan menyesalnya datang sedemikian terlambat. Oleh karenanya, berikan dirinya satu kesempatan lagi padanya. Bukankah kalau kamu tak memberinya kesempatan, berkuranglah teman yang sedemikian dekat denganmu?

Maafkan aku Ziy, aku bukan ingin mengguruimu. Aku hanya ingin menghiburmu. Aku tahu bahwa kamu paling suka dengan hal yang lucu, bukankah begitu? (aku sok tau yah? :D). Bicara menyesal, kadang aku termasuk orang yang sama yang kamu sebutkan dalam tulisanmu itu. Bukan karena tak mau, tapi memang karena tak bisa. Aku terlampau bahagia ketika aku diajak keluar oleh beberapa orang teman. Spontan aku mengiyakannya. Tapi kadang apa yang aku harapkan tak menjadi kenyataan. Aku membatalkannya bahkan saat tinggal akulah terakhir yang sedang ditunggu.

Oleh karena itu, berbaik hatilah Ziy. Sebaik perlakuan dirimu kepadaku selama ini. Jika kamu tak bisa memberikan kesempatan sekali lagi kepadanya, apakah kamu juga tidak akan memberikan kesempatan yang sama kepadaku jika akulah yang membatalkan temu itu?


Salam hangat,
Nurman

Read full post »
 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger