Minggu, 13 April 2014

Surat, Rinduku Bercerita. Sebuah Cerita yang Sebenarnya (3)

0 komentar
Dear Ziy,

Sebenarnya aku tidak tahu dimana keterkaitan antara kamu dan dirinya. Kamu seorang sahabat yang hanya ingin bersajak ria, dia adalah rahim dari sajak-sajakku. Dia sosok inspirasiku. Maklumilah ketidakjelasan hubungan ini, sahabat. Sesungguhnya aku hanya sedang sakit, pusing dan egois sendiri. Bukankah kamu tahu bahwa cinta diam-diam selalu mencari-cari pembenaran?

Kamu tahu, apa yang dikenakannya ialah bait puisi yang sengaja menunggu untuk aku tuliskan. Suatu ketika, aku sengaja menghadiri sebuah kegiatan organisasi di kampus. Tepat satu minggu setelah aku yakin bahwa dia adalah sosok yang sangat pantas untuk dicintai. Aku mendapatinya mengenakan kerudung merah. Ia duduk di depan, aku duduk di belakang. Dan ketika kegiatan usai, aku berpapasan dengannya, tapi hanya ada diam di antara kita. "Tatapku hanya bisa menyapu pundak dan kudungmu. Sendu. Kidungku tak mampu merengkuhmu".

Ziy, kebodohanku ini telah mengikis tubuhku. Aku kering kerontang. wajahku pun tirus. Kini aku telah sampai pada tahap tak bisa berpikir apa-apa. Aku yang tadinya bisa berangan pada kisah indah dengan dirinya, sekarang aku bahkan tak bisa membayangkan apa-apa lagi. Kini aku tak bisa lagi menerka-nerka lagi. Kini aku tak bisa membedakan lagi, mana imaji mana kenyataan.

Aku mengirimkannya rangkaian bunga sajak. Puisi-puisi yang aku buat dari dirinya. Dari pashmina yang dikenakannya, dari langkahnya yang mengabur di tanah, bahkan dari sapaan pertama yang masih aku ingat bagaimana merdunya. Tetapi, apa yang aku dapat? Langkahnya menjauh. Senyumnya hilang, tawanya pudar. Ia menghindariku. Tak ingin berada di dekatku bahkan untuk sekadar berbasa basi walau sebagai teman.

Aku mencintainya, tapi tak berani mengungkapkan. Dan ketika ia mulai menganggap semua telah baik-baik saja, aku memulai ritual itu kembali. Menebak-nebak hati. Dan disinilah aku kembali. Menagisi dan meratapi diri sendiri.

Ziy, tolonglah aku.

Dialah perempuan yang bernama perempuan. Perempuan pertama yang dicintai orang tuanya. Dan juga perempuan pertama yang begitu aku cintai sedemikian dalam ini. Perempuan yang membisik pada awan bahwa semesta punya sajak-sajak kerinduan. Sebuah bisikan yang hanya aku dengar, seorang diri.

Salam hangat,
Nurman

Read full post »

Surat, Rinduku Bercerita. Sebuah Cerita yang Sebenarnya (2)

0 komentar
Dear Ziy,

Izinkan aku bercerita sebentar. Kamu tahu apa yang selalu dirahasiakan dari rindu diam-diam? Senyum yang lahir dari kesendirian, senyum yang lahir dari imajinasi, dan senyum yang lahir malu, mungkin itu sebagian dari mereka. Berbagi ruang dengan tatap dibalik pundak kegelapan, sapaan canggung, serta sendu dan bahagia yang tiba-tiba menjadi teman, mereka mungkin hidup akur. Hidup dalam dua dimensi dari cinta yang berbeda. Cinta yang begitu pengecut, bagiku.

Ziy, aku telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada seorang perempuan yang merahimkan puisi dan sajak-sajak sederhanaku kemudian melahirkannya. Jatuh cinta pada perempuan yang merawat kesahajaan layaknya merawat anaknya sendiri dengan begitu sayang, menyusui begitu mereka menangis, menimang dan menyanyikan lagu kesukaan agar mereka tenang. Aku jatuh cinta padanya. Jatuh cinta yang begitu indah tetapi secara bersamaan begitu menyakitkan.

Sudah hampir tiga tahun aku mengamatinya. Mengamati tiap jejak-jejak langkahnya, mengamati tingkahnya, dan mengamati kehidupan di sekitar dirinya. Aku tertawa jika ia tertawa. Aku tersenyum jika ia tersenyum. Hanya saja aku tidak melakukan semua itu dengannya, di sebelah sisi kirinya.

Ziy, aku terjebak dalam kebodohan yang aku buat sendiri. Terhimpit dalam labirin yang aku rangkai dan berdiam diri untuk sengaja tidak keluar dari sana. Pikirku, menyimpan cinta sebagai rahasia adalah hal yang mulia. Tapi kamu tahu Ziy? Aku bukanlah salah satu manusia yang mampu memuliakan diriku sendiri. Aku belum mampu.

Kadang kepalaku terasa sakit sekali, sesekali aku hampir muntah. Aku merasa tak sanggup menerima kenyataan yang lebih tepatnya kuanggap sebagai semesta angan. Melihatnya tersenyum tapi tak bisa menciptakan senyumnya. Melihatnya tertawa tapi tak bisa membuatnya tertawa.

Hingga sampai ketika aku memutuskan, aku tak bisa hidup dengan penderitaan seperti ini. Maka dari itu aku merapikan diri. Menyimpan memori-memori tersebut dalam sebuah kotak kayu. Menatanya sebaik mungkin agar rindu-rindu yang tak pernah usai itu tak akan rusak dimakan tanah dan masa. Biarlah mereka hidup sebagai kenangan, lalu hancur dengan cinta yang ada di dalamnya, dengan sendirinya.

Akan tetapi, ketika aku bertemu denganmu, kotak yang sengaja kukubur itu mencuat kembali. Membuka dengan sendirinya. Mengeluarkan wangi yang selalu aku ingat, wangi yang aku namai sebagai rindu terpendam. Rindu yang mengatasnamakan dirinya sebagai rindu bahkan sebelum mencinta. Kamu tahu, manakah yang benar adanya dari sebuah kehadiran rasa, rindu atau cinta?

Kamu mengingatkanku pada dirinya. Bukan karena aksara-aksara yang sama. Bukan pula karena suguhan-suguhan secangkir rasa manja dalam tiap sesapan coklat yang kamu sajikan. Tetapi karena kalian seakan sama seperti selembar kertas dan pena. Dua teman yang selalu aku gunakan untuk menggoreskan rindu-rindu yang telah tumbuh subur ini.

Ziy, aku begitu bodoh kan?

Salam hangat
Nurman

Read full post »

Sabtu, 12 April 2014

Surat, Rinduku Bercerita. Sebuah Cerita yang Sebenarnya (1)

0 komentar
Dear, Ziy

Maaf aku tak bisa menepati janji. Tak bisa secepat mungkin membuat merpati balasan dari merpatimu yang datang di jendelaku. Tak bisa jua merangkai bunga rindu dari sajak-sajak yang saling mencinta, yang digoreskan tinta kita. Tak pernahkah kalau kamu berpikir bahwa kiranya kita adalah sepasang gelombang di lautan, mengombak bersama namun tak pernah sampai ke tepian?

Puan, kamu adalah sahabat yang paling aku sayang. Sedemikian sayang dan sedemikian dalam, sampai suatu ketika aku tak bisa terlepas darimu. Aku erat dipeluk kata-katamu dalam sebuah mahligai yang aku tak tahu apa. Di sana, aku menikmati semua sajian rindu dan senja kesukaanku hingga aku membuat keputusan yang aku tak pernah sangka. Aku tak ingin pergi dari sana.

Ziy, kamu telah salah sangka menilaiku. Aku sangat senang bermain makna, bermetafora, bahkan bercinta dengan aksara-aksara sucimu. Hanya saja semakin aku menikmati semua itu aku semakin letih. Aku semakin sakit. Sangat sakit, disini. Di hati.

Sesungguhnya itu semua bukan salahmu. Ini adalah kesalahan aku, murni kesalahan hatiku. Maka biarkan aku menyeka kesedihan dari raut wajahmu yang cantik itu. Izinkanlah aku untuk merapikan kembali satu per satu pesona yang selalu ditawarkan bulu matamu. Dan izinkanlah aku menulis ulang puisi dan prosa di bibir merah mudamu itu.

Jika kamu menilai bahwa kitalah makna dari sajak "Kau dan aku, sungguh sapaan itu begitu bisu" maka kamu telah salah memberi arti. Dengarkanlah cerita di balik semua kesalahpahaman ini. Ini semua tentang rindu yang begitu dalam, rindu yang begitu legam, rindu diam-diam.

Salam hangat,
Nurman

Read full post »

Jumat, 04 April 2014

Surat Kedua: Muramku Kebodohanku

0 komentar
Dear Ziy,

Terima kasih atas segala bentuk kepedulian dan perhatian yang selalu kamu curahkan tulus padaku. Aku sangat bersyukur memiliki sosok-sosok hangat seperti kamu. Sosok yang kerap menjengkal tiap kata dan tanda baca untuk sekadar mencari segaris lengkung pelangi di bibir para penyimpan perasaan. Sosok perempuan lembut yang tak segan berbagi kasih sayang walau hanya dengan segelintir senyuman maupun sebaris tulisan. Kamu tahu, semua yang kamu berikan padaku itu tak mungkin aku bisa balas dengan takaran yang sama bukan?

Ziy, aku ingin minta maaf. Aku ingin minta maaf atas segala kesalahan yang aku perbuat padamu. Atas keterlambatanku membalas suratmu, atas ketidaksetiaanku mengikat makna dari sajak-sajak sederhana kita, atas keacuhanku pada sapa-sapa sayangmu dan atas pesan-pesan rahasia kita yang kadang aku simpan tanpa kubaca satu per satu. Maafkan aku yang terlampau hina ini. Jujur, sesungguhnya aku tak mau seperti itu, sungguh tak mau. Maafkan aku, dibalik segala sikap dan keadaan yang tercipta di antara kita sesungguhnya ada alasan. Kamu percaya bukan?

Aku sedang jatuh sakit, Ziy. Sakit akibat kebodohanku telah memilih sepi dan sunyi sebagai teman hati. Sakit akibat kebodohanku terlalu lama mendekam dalam kubangan beku kebisuan tanpa bisa berani bergerak dari sana. Tubuhku sehat, tapi aku membatu kaku. Aku terlalu pengecut, Ziy. Terlalu bodoh memilih bahwa diam adalah jawaban atas semua perasaan. Dan inilah hasilnya, aku sakit, begitu sakit. Sakit yang mendorongku hingga jatuh begitu dalam, gelap dan tenggelam. Sakit yang memaksaku merengkuh dada pelan-pelan hingga terpejam.

Itulah salah satu dari rahasia keadaan. Aku butuh waktu untuk berdamai dengan diri dan hati. Maka, maafkanlah aku Ziy. Karena keadaanku yang seperti ini, aku terlambat membalas surat darimu. Itulah juga sebabnya beberapa waktu ini aku telah kehilangan kata-kata, tak bisa membalas untaian metafora yang sengaja kamu taburkan. Sajak-sajakku telah mati, bersama hilangnya sosok inspirasi.

Akhir kata, terima kasih atas suratmu. Paragraf-paragraf itu sangat jujur membaca rasaku.

Salam hangat,
Nurman

Read full post »
 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger