Selasa, 29 Juli 2014

Rahasia (yang) Entah

0 komentar
Jika ada yang bertanya mengapa aku tak bisa berhenti memandangnya, aku hanya bisa tersenyum sebagai jawabannya. Jika ada yang bertanya mengapa aku tak pernah bisa berhenti memikirnya,sekali lagiaku hanya bisa tersenyum sebagai jawabannya. Dan jika ada yang bertanya mengapa aku menyukainya, maka aku hanya bisa diam, tersenyum dan kemudian malu dengan sendirinya.

Tuhan memang selalu punya rahasia dalam tiap kisah yang sengaja Dia tuliskan. Kadang rahasia itulah yang membuatku bertanyatentangbagaimana kerja semesta mempertemukan sepasang manusia. Apakah sebenarnya semesta diperintah langsung oleh pencipta-Nya ataukah itulahsudah menjadi "hukum"keistimewaan alam yang selalu punya napas pada segala yang bernama cinta?

Sebab dengan semua rahasia itu, aku tak tahu menahu dan tak pernah mengerti.

Aku tak tahu bagaimana awal perasaaninibermula. Ada yang mengaku menemukan dan menyiratkannya dalam puisi dan prosa. Saling menjalin ikatan dan berpelukan sayang pada rangkaian tanda dan aksara. Merekalah yang bersaksi bahwa cinta bisa dipertemukan dalam diam dan oleh kata-kata.

Aku juga tak pernah tahu makna dari tatapan mata. Ada yang mengatakan bahwa mereka dapat berbicara, menyapa bahkan saling menyampaikan rasa. Mungkin inilah yang dibenarkan oleh sebagian lelakipemalu. Waktu terasa berhentiakui mereka. Sosok yang menemukan cinta hanya dalam pandangan pertama.

Tak pernah pula kupahami apa arti dari kata "suka". Aku hanya bisa menerka-nerka maksudnyamelalui hati dan mata. Dari mereka berdua yang berpegangan tangan dan saling bercumbu mesra. Dari mereka yang saling bertatapan, kemudian berbicara tentang masa depan dan masa-masa tuanya.

Akan tetapi, kemudian, aku mulai menemukan keterkaitan di antara mereka. Awal rasa, tatapan mata, dan perasaan suka ialah sebuah paket yang tak bisa dipisahkan. Ketiganya adalah sebuah konsekuensi sebab akibat yang saling berkaitan. Karena semuasekali lagimanusia merasakan dan membenarkannya. Sudah menjadi hukumNya,karenasemua manusia pasti pernah jatuh cinta.

Dan ketika aku mulaisadarmerasakan keindahan bertukar kata dan kerinduan untuk saling menatap mata, aku tahu. Tuhan menyimpan rahasia bukan untuk disembunyikan tetapi untuk dijelaskan. Dan Tuhan tahu kapantepatnyarahasia itu harus terbuka. Dan begitu adanyahukumNyasaat kita tahu bahwa kitalah sepasang rahasia itu, kita sadar baha Tuhan begitu romantisnya.

Membuka sebuah rahasia,
...dan menutupnya dengan penjelasan yang indah.

garissatukata

Read full post »

Minggu, 20 Juli 2014

Perjalanan Kocak dan Luar Biasa Pria Tua 100 Tahun

1 komentar
#The100Yoman
Judul Buku : The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared
Penulis : Jonas Jonasson
Penerjemah : Marcalais Fransisca
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Cetakan Pertama, Mei 2014
ISBN : 978-602-291-018-3
Harga : 59.000

Blurb

Allan Karlsson hanya punya waktu satu jam sebelum pesta ulang tahunnya yang keseratus dimulai. Wali kota akan hadir. Pers akan meliput. Seluruh penghuni Rumah Lansia juga ikut merayakannya. Namun ternyata, justru yang berulang-tahunlah yang tidak berniat datang ke persta itu.

Melompat lewat jendela kamarnya, Allan memutuskan untuk kabur. Dimulailah sebuah perjalanan luar biasa yang penuh dengan kegilaan. Siapa sangka, petualangannya itu menjadi pintu yang mengungkapkan kehidupan Allan sebelumnya.
Sebuah kehidupan -tanpa terduga- Allan memainkan peran kunci di balik peristiwa penting pada abad kedua puluh. Membantu menciptakan bom atom, berteman dengan Presiden Amerika dan tiran Rusia, bahkan membuat pemimpin komunis Tiongkok berutang budi padanya! Siapa, sih, Allan sebenarnya?

*****

“Segala sesuatu berjalan seperti apa adanya, dan apa pun yang akan terjadi, pasti terjadi.”

Mungkin inilah sebaris kalimat yang terlintas ketika Allan Karlsson tanpa pikir panjang melompat dari jendela kamarnya. Ia lebih memilih jalan “mati” yang lain daripada terjebak dalam rangkaian kebosanan di Rumah Lansia dan meniup kue ulang tahunnya yang keseratus. Ya, dirinya nekat melarikan diri dari acara ualng tahunnya sendiri yang dihadiri langsung oleh Walikota tepat satu jam sebelum acara tersebut dimulai.

Tanpa perencanaan apa-apa, Allan terus melangkahkan kakinya (berlomba dengan rasa sakit di lututnya) hingga sampai di Terminal Bus Malmkoping. Siapa sangka, aksi gila kakek 100 tahun itu tak sampai disitu. Begitu ia memutuskan untuk menaiki bus ke arah Stragnas, ia secara tak sengaja juga mencuri sebuah koper beroda besar yang tadi dititipkan seorang pemuda kurus berjaket yang bertuliskan “Never Again” kepadanya. Pikirnya, mungkin dalam koper itu ia dapat memperoleh baju ganti dan sepasang sepatu.

Alhasil, ternyata, tindakan nekat Allan mencuri koper itu justru memberikan salah satu cerita petualangan yang sangat kocak di usianya yang telah seabad ini. Sebuah perjalanan yang sangat berbeda dari pertualangannya semasa muda. Mulai dari pertemuannya dengan seorang pria tua pencuri, kemudian Allan menjadi incaran kelompok gangster, dikejar polisi, menjadi bahan perbincangan media, sampai dicurigai sebagai pembunuh. Lucunya, Allan sama sekali tak pusing dan tak merasa dirinya terlibat masalah.

Hal mencenangkan justru terkuak dengan sendirinya pada petualangannya kali ini. Allan Karlsson pernah terlibat dalam beberapa peristiwa penting semasa perang dunia ke-2. Mulai dari pertentangan komunis, sosialisme, liberalisme sampai kejadian-kejadian yang mengantarkannya bertemu dengan Harry Truman, Stalin, Mao Tse-tung dan saudara Einstein. Allan bahkan pernah mendaki Himalaya dan hampir mati. Tak ada yang menyangka bahwa dirinya punya andil dalam sejarah dunia.

*

Novel yang kocak dan keren! Tema yang berbeda dari yang lain. Dengan cara bercerita yang maju mundur, penulis mengajak pembaca “menerka” ulang sejarah lewat kaca mata Allan. Tak heran jika melihat kenyataan bahwa Jonas Jonasson adalah seorang jurnalis. Tak ayal, juga dengan penggambaran deskriptif yang sangat detail, sesekali pembaca terasa menikmati “keberadaannya” di Swiss, Swedia, Iran, Korea Utara, Perancis, Cina, hingga Rusia. Di sisi lain, pembaca seakan  merasakan rangkaian demi rangkaian peristiwa maupun konflik yang hadir. Begitu mengalir dan terkesan unik.

Penggambaran tokoh Allah yang terkesan tak tertarik pada politik juga merupakan sebuah ide brilian yang mendukung penulis dalam memutar ulang sejarah perang dunia ke-2 lewat perspektifnya. Plot terasa kuat ketika Jonas memberikan twist di beberapa sisi dan menimbulkan sensasi komedi yang meledak. Contohnya saja saat Allan meledakkan rumahnya. Benar-benar tak disangka-sangka :D

Cover novel yang hadir minimalis memberikan stimulus seperti ada “rahasia” dalam novel. Kombinasi yang pas!

Terlepas dari semuanya, novel terjemahan ini sangat patut mendapatkan tempat di rak buku anda. Mengapa? Salah satunya karena pada beberapa bagian dan akhir novel, negara Indonesia disebutkan. Apa itu? Yuk cari tahu :D




Read full post »

Senin, 14 Juli 2014

Cerita Tentang Ibu

0 komentar
Jika diminta bercerita tentang ibu, tentang apa-apa yang berkesan dengan ibu, maka aku akan bingung dan tak akan bisa bercerita apa-apa. Karena apa yang menyangkut dirinya, bagiku, semuanya tak bisa dilupakan. Tak akan bisa diambil dan diduakan. Begitu bernilai. Tawa dan senyumnya adalah kebahagiaan terbesar bagiku. Sendu dan tangisnya adalah kesedihanku jua. Sesederhana itu.

Bercerita tentang ibu seperti mengenang dirinya. Omelannya kala diriku yang malas mandi, teriakan suaranya yang serak (karena terlalu sering teriak) yang menyuruhku agar cepat pulang, dan nasihat-nasihat dirinya yang mengantarku ke perantauan adalah harta yang tak bisa dinilai dalam kepalaku. Bagiku, kenangan itu adalah berlian.

Tapi, dari sekian banyak cerita yang tak pernah kubisa lupakan tentang dirinya, ada beberapa di antaranya yang mengajarkanku tentang kebahagiaan dan kedewasaan. Ada pula yang dulu aku tak mengerti apa maksudnya, kini (setelah diriku kuliah) baru aku tahu jabaran tafsirnya.

Dulu, kira-kira tahun 2000, ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP, kehidupan keluargaku sedang dalam titik terendah. Ibarat roda, posisi kami dekat sekali dengan tanah. Cobaan dan ujian silih berganti datang. Mulai dari tragedi pertengkaran dengan saudara tiri yang mengakibatkan aku, Ibu dan kedua adikku diusir dari rumah, sampai pada hari dimana kami hanya bisa makan nasi garam. Betapa begitu tegar diri Ibu saat itu.

Ibu hanyalah seorang penjahit. Sedikit demi sedikit ia menutupi belanja dengan upah yang diterima dari mengecilkan baju atau celana tetangga. Sewaktu itu ibu baru mempunyai mesin jahit dan belum dikenal kepiawaiannya kecuali orang terdekat dari rumah. Keberadaan ayah tak memberikan nafas segar apa-apa. Dirinya hanya batu! Dia terlalu banyak pertimbangan dan terlalu sayang kepada anak tirinya. Tak mengerti bagaimana setiap malam ibu menangis di tempat tidur, tak mengerti mengapa kantung mata ibu semakin besar dari hari ke hari.

Aku tak kuat. Tapi aku juga takut. Maka pada suatu waktu aku memutuskan untuk mencari uang. Tetapi aku tak tahu bagaimana caranya mendapatkan uang. Pernah seorang teman mengajak diriku mengamen di pinggiran lampu merah Rawasari, tepat di depan Universitas Trisakti, tetapi aku ragu. Begitu banyak preman di sana, apalagi isu-isu kelompok kampak merah sedang panas. Maka tawaran itu aku tolak.

Pilihanku jatuh pada sebuah tempat pemakaman umum. Iya, aku mencari selembar demi selembar uang seribuan dengan membersihkan makam. Hari itu, matahari begitu terik. Berbekal sebuah sapu lidi, aku mulai bekerja. Kutunggui satu-satu pengunjung yang datang, kemudian mengikutinya dari belakang. Satu kuburan, dua, hingga entah keberapa telah aku bersihkan. Peluh tak kupedulikan, pikirku saat itu yang penting hanyalah mendapatkan uang.

Hari sudah sore ketika aku sampai di rumah Ibu Jamal, rumah yang sebagiannya disekat (dibagi dua) agar bisa kami kontrak. Ibu ternyata telah menunggu di depan pintu. Melihatku kotor dan pergi tak bilang-bilang, ia marah. Keringatku belum juga kering (karena aku memilih berjalan kaki, tidak menaiki metromini 46), nafasku belum teratur sepenuhnya, mendengar dirinya murka, mataku seakan mengabur. Lapisan air seperti ingin jatuh dari sana.

Aku tak menjawab semua pertanyaan Ibu. Aku hanya merogoh kantung celana pendek hitamku yang telah lusuh dan memberikannya uang 12.000 rupiah. Kemudian pertahananku runtuh. Aku terisak sambil menjelaskan bahwa diriku tadi dari pemakaman umum di daerah Rawamangun. Ibu kaget dan kemudian memelukku. Tubuhku dan dan dirinya bergetar. Yang aku ingat saat itu hanya, kata-kata yang dibisikkan di telinga kiriku.
“Maafkan Ibu, Man. Ibu enggak tahu”
Disekanya pipiku dengan ujung bajunya. Kemudian ia menggodaku.
“Ternyata anak Ibu udah pintar nyari uang ya?”
Kulihat senyum ibu mengembang. Isakku perlahan hilang. Dan kemudian kami larut dalam keharuan, keharuan yang hanya dimengerti oleh ibu dan anak, keharuan yang baru bisa aku jabarkan bentuk dan maknanya sekarang.

Foto Ibu sekarang. (Soalnya enggak punya foto berdua sama ibu :D)

Begitulah. Semua hal tentang ibu tak pernah tak ada yang berkesan. Segala tentangnya selalu memberikan makna dan pelajaran. Baik langsung maupun tersirat. Tetapi, aku masih belum bisa membalasnya. Maafkan aku ibu. Maafkan anakmu ini. Aku masih belum bisa membalas apapun, tapi masih saja sering kali aku membohongimu. Maafkan aku ibu. Meski kini kita terpisahkan jarak yang luas, percayalah bahwa aku selalu mendoakan dirimu, ibu.
  
Tulisan ini diikutsertakan dalam 

Read full post »

Minggu, 13 Juli 2014

Resensi Fantasy: Love doesn't conquer all, faith does.

0 komentar
Fantasy
Judul Buku : Fantasy
Penulis : Novellina A.
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan I, April 2014
Tebal Buku : 312 hlm
ISBN : 978-602-03-0355-0

Blurb

Butuh tujuh tahun bagi Davina untuk memberanikan diri menginjak kota Tokyo, mengejar kembali apa yang telah hancur saat ia membiarkan Awang pergi mengejar impian. Perjalanan itu bukan semata untuk memenangkan kembali cintanya, namun ia membawa benih mimpi sahabatnya, Armitha: mimpi untuk berada di satu panggung kompetisi piano bersama Awang untuk membuktikan siapa yang terhebat di antara keduanya.

Fantasy berarti mimpi, imajinasi. Hingga sejauh apa Davina, Armitha, dan Awang melalui jalan mimpi yang tak pernah mudah? Inilah saatnya cinta, persahabatan, kesetiaan, dan kepercayaan teruji. Dari Surabaya, Tokyo, Singapura, Paris, Berlin, hingga Wina, mereka berlari menyambut mimpi, mencoba membuktikan bahwa mimpi tidak terlalu jauh untuk digapai selama mereka selalu melangkah untuk meraihnya.

***

Ketika cinta, persahabatan, dan mimpi dipertaruhkan, dimana takdir mempertemukan mereka pada persimpangan, mana yang harus dipilih? Apakah harus merelakan meninggalkan cinta demi impian? Apakah persahabatan di atas segala-galanya? Ataukah justru ketiganya dapat beriringan hanya saja kita yang salah menginterpretasikan sehingga yang terlihat mata hanyalah ketidaksinambungan? Mungkin inilah sebagian hal yang ingin didiskusikan oleh Novellina dalam novel pertamanya ini.

Fantasy bercerita tentang persahabatan tiga orang remaja, Davina, Armitha, dan Awang, yang kemudian tandas di tengah jalan akibat perhelatan antara cinta, kepercayaan, dan impian. Awalnya, Davina dan Armitha adalah sepasang sahabat. Anehnya, karakter keduanya tak sama. Davina ialah seorang perempuan cantik, tinggi, dan blesteran (seperempat Belanda) yang tak punya perhatian terhadap penampilan. Rambutnya cenderung tak rapi dan tak pernah pusing jika pergi kemana-mana hanya dengan memakai kaos oblong dan jeans. Sedangkan Armitha adalah perempuan indo, cantik, bermata tajam (lebih sering dibilang judes) yang memiliki hobi memasak, menjahit, tapi tak pernah suka membaca serta mengerjakan PR. Armitha lebih memperhatikan penampilan dibandingkan Davina, itu terlihat dengan kesungguhannya dalam berpakaian yang selalu menunjukkan keselarasan dalam memilih model dan warna (senada). Tetapi, justru perbedaan itulah yang membuat mereka dekat dan saling melengkapi.

Pertemuannya dengan Awang terjadi akibat aksi nekat remaja laki-laki berbadan besar itu yang meminta Davina untuk memperkenalkannya pada Armitha. Ya, Awang menyukai Armitha sejak awal. Baginya Armitha adalah sebuah misteri yang sangat menggiurkan untuk dipecahkan. Pribadi Armitha yang terbuka dalam hal emosilah yang menyebabkan Awang menyukainya. Armitha terlihat apa adanya, kira-kira itulah yang ditafsirkan Awang dalam pikirnya.

Pembawaan Awang yang supel dan gampang bergaul, yang mampu membuat orang selalu merasa nyaman di dekatnya, membuat dirinya menjadi dekat dengan Armitha dan Davina. Mereka sadar bahwa Awang tak selalu tampil selengean, ada suatu pribadi dalam dirinya yang mampu diandalkan, setia kawan.

Persahabatan mereka bergulir sampai suatu ketika Davina mendapati Awang bermain piano di perpustakaan sekolah. Komposisi yang didengar Davina begitu sedih dan menyayat hati. Seketika Davina melihat hal yang lain dalam diri Awang. Kharisma dan ketampanannya terpancar. Davina jatuh hati, ia begitu terpesona. Dan tanpa ia sadar, ternyata dirinya sejak saat itu menyimpan perasaan pada Awang.

Dilema terjadi saat Armitha mulai membalas perasaan Awang. Davina mendapati mereka sedang bermain piano. Awang menatap Armitha dengan tatapan mendamba, sedang Armitha membalasnya dengan keceriaan. Pemandangan penuh kebahagiaan tetapi Davina tak mampu menerima itu. Hatinya sakit, dadanya sesak. Apakah ia harus mengalah pada perasaannya sendiri? Yang ia tahu saat itu hanya pergi dari tempat itu.

Apakah yang akan terjadi pada Davina? Apakah ia menjauh dan memutuskan persahabatan dengan Armitha? Ataukah justru Awang juga menyimpan perasaan yang sama terhadap Davina?

*

Kiranya perlu memberikan sebuah apresiasi yang besar pada Novellina karena kesuksesannya menjebak pembaca dalam labirin rasa yang ada dalam Fantasy. Sebagai novel pertama, Fantasy tergolong memukau dan menyorot banyak perhatian pembaca. Temanya sangat unik, musik klasik. Alhasil pembaca dapat mengenal beberapa contoh komposisi klasik seperti karya Mozart, Beethoven, Stravinsky dan lain sebagainya. Kelihaian penulis dalam meramu informasi ini seakan-akan menyihir para pembaca untuk berprasangka bahwa penulis sepertinya termasuk salah seorang pianis.

Dengan sudut pandang orang pertama (yang berpindah-pindah antara Davina dan Armitha) memberi kesan yang dalam pada penggambaran karakter tokoh utama tersebut. Emosi sangat terlihat. Tak hanya di situ, detail penggambaran setting menandakan bahwa penulis total dalam melakukan riset penyusunan novel ini. Hal itu terlihat jelas saat imajinasi pembaca ditarik paksa pergi menjelajahi Surabaya, Tokyo, Singapura, Paris, Berlin hingga Wina.

Novellina tak hanya bercerita menggunakan gaya bahasa yang terkesan pop tetapi juga menggunakan bahasa metafora yang terkesan dramatik. Hal ini menimbulkan kesan yang khas, yang romantis, mellow, dalam tubuh Fantasy. Hal ini pulalah yang membuat karakter masing tokoh menjadi lebih kuat, emosi menjadi lebih nyata. Komposisi bercerita dalam novel juga seimbang, antara narasi dan dialog.

Penulis mampu membuat kejutan-kejutan di akhir konflik. Sangat tidak terduga. Seperti memberikan sedikit sentuhan twist, yang mengecoh dugaan pembaca akan akhir dari sebuah masalah dalam cerita. Hal ini mengingatkan saya pada beberapa karya lain seperti novel My Perfect Sunset dan A Truth About Forever. Penulis dengan apik meramu plot dan membuatnya menjadi kompleks, saling bertautan antara cinta, persahabatan, mimpi, kepercayaan dan ketulusan. Sejenak menjadikan, membaca Fantasy seperti memainkan sebuah komposisi. Pengejewantahan karakter, konflik dan rangkaian cerita yang meloncat-loncat terlihat sebagai suatu kesatuan yang bertahap. Seperti seorang pianis membawakan sebuah sonata, melalui first movement, second movement, dan last movement.

Dari segi fisik, cover terlihat tetap eye catching dengan desain grafiti judul yang terlihat keren. Perpaduan warna font dan dasar cover yang bisru gelap tergolong biasa, tetapi ketika disatukan dengan keseluruhan 'isi' cerita, semuanya terlihat jelas. Warna gelap seakan menggambarkan kedalaman dan keluasan dari impian. Dan kitalah, masing-masing bintang yang bertaburan di dalamnya. Kita bisa saja bersinar, bisa tidak, semua tergantung pada keyakinan dan kepercayaan kita pada mimpi itu.

Secara pesan, karya Novellina terbilang menginspirasi. Hal ini terlihat dari penggambaran realitas rasa cinta dan kasih sayang yang disajikan dalam dimensi yang berbeda. Novellina ingin mengajak pembaca untuk mencoba mengerti bahwa cinta tak sesederhana dari apa yang terlihat. Ia mengajak pembaca untuk menelisik lebih dalam ikatan dan kaitan dari cinta, keyakinan, takdir, dan persahabatan. Rangkaian yang mendewasakan.

Pesan-pesan lainnya juga banyak ditemukan dalam kutipan kata-kata dalam novel, maupun hanya quote-quote yang menyentuh.

Bagiku, sebuah mimpi bukanlah sesuatu yang tidak penting. Mimpi adalah inti dari kehidupan manusia. Aku memulai hidupku dari sebuah mimpi (hal. 171)
Mungkin, jalan terbaik untuk tidak merasakan kesedihan adalah dengan tidak memikirkannya, menjauh dari kenangan, bahkan jika perlu meninggalkan semuanya untuk memulai hidup baru (hal. 121)
Tidak ada yang lebih menyedihkan selain saat seseorang kehilangan harapan. (hal. 133)
Terkadang tatapan mata mampu mengatakaan sejuta kejujuran daripada yang dapat diucapkan oleh lidah. (hal.106)
Merantai kaki seseorang karena ketakutan kita bukanlah cinta melainkan keegoisan. (hal. 126)


Kekurangan dari novel ini, hanya saja masih terdapat beberapa kesalahan penulisan.

Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangannya, novel ini sangat patut mendapatkan tempat di rak buku pribadi anda. Dengan cara yang tak biasa, penulis mencoba memberikan perspektif yang lain akan perjuangan dalam meraih mimpi dan cinta. Fantasy, 4,5 of 5 star.

"You are my Fantasy in D minor, my ending from my search of happiness"
(hal. 308)


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Resensi Novel Fantasy by Novellina A.

Read full post »
 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger