Jumat, 10 Januari 2014

Genggam

2 komentar
Aku disini
kamu disana
terpisahkan depa jarak yang merindukan
mencoba mendekap dalam sebuah doa
berharap hati menggenggam setia
saling menguatkan

Bantimurung, 2013

Read full post »

Kamis, 02 Januari 2014

Ketika Kita Mulai Saling Menyapa dengan Sajak-Sajak Sederhana

8 komentar
Credits

Senja hari dipeluk hujan. Aku termenung di depan layar putih. Iya, udara yang dingin membuatku betah berlama-lama di tempat tidur. Sehari itu aku habiskan dengan membaca dan berselancar di dunia maya. "Ah, memang tak ada teman sejati hari ini selain laptop hitam kesayanganku" gumamku pelan. Kutatap jendela kamar, lekat-lekat kuperhatikan embun hujan disana. Tiba-tiba aku berpikir. Sepertinya bagus jika aku berkicau tentang apa saja yang aku rasakan hari ini. Perihal kegundahan hati maupun kebahagiaan yang sepi.

Kubuka akun twitterku. Kutuliskan beberapa kalimat, entah itu sajak atau hanya gumaman lewat saja. 
Terima kasih, sudah membuatku jatuh ke dalam. 
Masih merindukan moment-moment kala aku duduk di samping jendela, menatapmu yang kian berlalu dari kereta.  
Karena tak mudah menyimpan cinta dalam diam dan mencintaimu hanya dengan sebuah tulisan. 
Ketika masa lalu mulai memasung waktu di dada, aku terdiam. Antara mati atau menusuk mata.
Tapi, hal yang tak terduga terjadi. Ada salah satu akun yang me-reply tweetku tersebut. Aduh, sejenak aku minder dan malu. Bagaimana tidak, ketika kulihat ava-nya, ia seorang perempuan berparas cantik. Ragu-ragu, mataku mulai penasaran mencari. Siapa sih perempuan ini? Deg! Aku kaget, untungnya tak sampai mental ke dinding. Ternyata ia berasal Bandung dan ia seorang penulis! Antara gembira dan bimbang. Gembira karena ada penulis yang me-reply tweetku, bimbang karena tak tahu mau membalas tweetnya dengan kata-kata apa. Iya, kebimbangan timbul karena kelebihan dirinya yang sebagai penulis itu.

Pelan-pelan kuatur napas. Menghembuskannya pelan diselingi dengan harap. Semoga semesta ide memilihku untuk menuliskannya. Alhasil, bak seorang laki-laki dingin yang kelihatannya keren (padahal tidak) terjadilah percakapan sederhana di antara kita.

@gubukteduh: 
Ketika masa lalu mulai memasung waktu di dada, aku terdiam. Antara mati atau menusuk mata.
*tak lama kemudian*

@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Ketika masa lalu berkelakar dengan cinta, aku membisu. Antara koma atau atau berperan ambigu.
@gubukteduh → @Agyasaziya_R
Ah, tak lain sama, seperti itu. Sekadar mengambil waktu untuk mengaku. Kamu dan masa lalu, ialah cintaku, dulu.
@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Aku masih di tempat itu, dimana dirimu dan remah-remah kenangan yang kupinjamkan, masih ada tanpa sembilu.
@gubukteduh → @Agyasaziya_R
Tak pernah kukira itulah kenyataan. Ketika kuputuskan mengantar pergi kenangan, meninggalkan. Maafkan aku kesayangan.
@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Kenangan masih di rantai mimpi. Mimpi yang kau rajut dengan pola filosofi...tapi tanpa aku, yang kau ajari bagaimana menjejak dan berdiri.
@gubukteduh → @Agyasaziya_R
Kini...aku tahu tafsir mimpi tadi malam. Ketika kamu datang mengenakan kerudung hitam. Berkilau, namun terpejam.
@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Ahh, lama sekali dirimu sadar. Aku selalu datang setiap malam. Melihatmu dari jendela, menginginkanmu seperti tafsir satu rindu.
@gubukteduh → @Agyasaziya_R
Biarkan seperti itu. Kini kita tak mungkin bersatu, melawan waktu. Aku hanya bisa merajut rindumu, memakainya sebagai baju.
@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Aku tahu. Tapi hela napas ini masih ingin sependapat dengan hati. Kamu...milikku, meski harus kuserahkan pada masa lalu.
@gubukteduh → @Agyasaziya_R
Dekaplah dirimu kuat dengan keikhlasan. Perlahan, kamu akan melangkah menuju kebahagiaan. Aku akan mengantarkan, melambaikan tangan.
@Agyasaziya_R → @gubukteduh
Coba saja kau lepaskan aku, tunggu sampai satu belati merebut urat nadimu

---The End---

Setelah tweet darinya itu, aku menutup percakapan dengan kata "The End". Tak kusangka ia membalasnya dengan tawa dan canda ("hahaha the end mulu ah"). Sejenak aku membayang. Dirinya lucu, penuh tawa dan keceriaan. Aku sebenarnya penasaran, hehe. Terima kasih kak @Agyasaziya_R atas kesediaannya menyapa diriku ini yang tak sekadar tumpukan kata-kata usang. Kata-kata kakak seperti mata air yang melepaskan kedahagaan, kesederhanaan yang selalu memberikan manfaat dan kehidupan. Terima kasih telah menyisipkan sedikitnya ruh pada sajak sederhana. Membuat mereka tak hanya indah dibaca mata tapi hidup sebagai sebuah kisah. Salam yang paling sopan kuberikan dengan tulus dari palung jiwa yang paling dalam. Kepada perempuan indah pemilik dekap kata paling setia. Apa mungkin di kehidupan mendatang kita dan kata-kata bisa menjadi sebuah cerita?


Makassar, 31 Desember 2013

Read full post »

Refleksi Diri

2 komentar
Credit

Januari, Februari, Maret

Aku lahir dari sebuah ketiadaan. Mulai bernafas menghirup sepi dan wangi kayu. Aku belajar berbicara, mengayak kata dari berbagai cerita. Belajar merangkak menyelingi kaki meja, mencari serpihan aksara dan papahan nada hingga aku bisa duduk dan berjalan. Titian aku seimbang disana. Serasa pejuang bak menang di medan perang. Aku pahlawan dalam pulang. Kutulis ia, dalam sebuah kontemplasi dari kehidupanku empat tahun silam. Cerita tentang masa depanku, katanya.

April, Mei, Juni

Jemariku menari, mengorek potongan arti dalam makna sendiri. Meresapi hingga menyuci sepi. Pertapa di kotak pandora bernama. Aku yang menemukan nilai dan estetika. Kini, aku di rumah sakit. Bukan terbaring merintih luka, bukan pula cedera. Bukan pula menyambangi kawan dalam ujian-Nya. Hanya sedang mengikuti garisan tangan. Disana, aku melihat kasih sayang, duka dan cinta. Pada anak yang memandikan ibunda di sebuah kamar. Pada istri yang meratapi tidur suami. Pada insan yang mengikrar janji, tak terhalang sakit maupun mati.

Juli, Agustus, September

Aku melangkah menapaki sebuah jalan. Ke sebuah tempat bernama kenangan. Yang indah di ingatan hingga bisa kutelusuri dinding dan anak tangganya. Aku di rumah, sejenak, kemudian pergi lagi. Kini aku berlari kecil di gang-gang dan aku tertawa. Pada banyak nyawa mengaduh dah mengeluh. Perihal ingin kembali ke masa riang bermain gundu. Aku yang tak tahu diri ini. Bahagia, senantiasa menuju pendewasaan diri.

Oktober, November, Desember

Di sebuah cafe berwarna jingga, aku ditemani secangkir kopi. Ah, pacar setiaku dulu saat hati tak punya ruang. Kukecup pelan hangat bibirnya. Sesap kurasai kuat lalu kulepas. Aromamu masih tetap sama. Kupandang perempuan di sisi meja. Hembusan nafas keluar, aku bergumam pelan. Aku bertemu puisi. Yang menghidupkan kembali sajak-sajak yang telah mati. Terima kasih cinta, sang sosok inspirasi. Semoga Tuhan mempertemukan kita di tahun ini, lagi.

Makassar, 2013

Read full post »
 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger