Minggu, 13 Juli 2014

Resensi Fantasy: Love doesn't conquer all, faith does.

Fantasy
Judul Buku : Fantasy
Penulis : Novellina A.
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan I, April 2014
Tebal Buku : 312 hlm
ISBN : 978-602-03-0355-0

Blurb

Butuh tujuh tahun bagi Davina untuk memberanikan diri menginjak kota Tokyo, mengejar kembali apa yang telah hancur saat ia membiarkan Awang pergi mengejar impian. Perjalanan itu bukan semata untuk memenangkan kembali cintanya, namun ia membawa benih mimpi sahabatnya, Armitha: mimpi untuk berada di satu panggung kompetisi piano bersama Awang untuk membuktikan siapa yang terhebat di antara keduanya.

Fantasy berarti mimpi, imajinasi. Hingga sejauh apa Davina, Armitha, dan Awang melalui jalan mimpi yang tak pernah mudah? Inilah saatnya cinta, persahabatan, kesetiaan, dan kepercayaan teruji. Dari Surabaya, Tokyo, Singapura, Paris, Berlin, hingga Wina, mereka berlari menyambut mimpi, mencoba membuktikan bahwa mimpi tidak terlalu jauh untuk digapai selama mereka selalu melangkah untuk meraihnya.

***

Ketika cinta, persahabatan, dan mimpi dipertaruhkan, dimana takdir mempertemukan mereka pada persimpangan, mana yang harus dipilih? Apakah harus merelakan meninggalkan cinta demi impian? Apakah persahabatan di atas segala-galanya? Ataukah justru ketiganya dapat beriringan hanya saja kita yang salah menginterpretasikan sehingga yang terlihat mata hanyalah ketidaksinambungan? Mungkin inilah sebagian hal yang ingin didiskusikan oleh Novellina dalam novel pertamanya ini.

Fantasy bercerita tentang persahabatan tiga orang remaja, Davina, Armitha, dan Awang, yang kemudian tandas di tengah jalan akibat perhelatan antara cinta, kepercayaan, dan impian. Awalnya, Davina dan Armitha adalah sepasang sahabat. Anehnya, karakter keduanya tak sama. Davina ialah seorang perempuan cantik, tinggi, dan blesteran (seperempat Belanda) yang tak punya perhatian terhadap penampilan. Rambutnya cenderung tak rapi dan tak pernah pusing jika pergi kemana-mana hanya dengan memakai kaos oblong dan jeans. Sedangkan Armitha adalah perempuan indo, cantik, bermata tajam (lebih sering dibilang judes) yang memiliki hobi memasak, menjahit, tapi tak pernah suka membaca serta mengerjakan PR. Armitha lebih memperhatikan penampilan dibandingkan Davina, itu terlihat dengan kesungguhannya dalam berpakaian yang selalu menunjukkan keselarasan dalam memilih model dan warna (senada). Tetapi, justru perbedaan itulah yang membuat mereka dekat dan saling melengkapi.

Pertemuannya dengan Awang terjadi akibat aksi nekat remaja laki-laki berbadan besar itu yang meminta Davina untuk memperkenalkannya pada Armitha. Ya, Awang menyukai Armitha sejak awal. Baginya Armitha adalah sebuah misteri yang sangat menggiurkan untuk dipecahkan. Pribadi Armitha yang terbuka dalam hal emosilah yang menyebabkan Awang menyukainya. Armitha terlihat apa adanya, kira-kira itulah yang ditafsirkan Awang dalam pikirnya.

Pembawaan Awang yang supel dan gampang bergaul, yang mampu membuat orang selalu merasa nyaman di dekatnya, membuat dirinya menjadi dekat dengan Armitha dan Davina. Mereka sadar bahwa Awang tak selalu tampil selengean, ada suatu pribadi dalam dirinya yang mampu diandalkan, setia kawan.

Persahabatan mereka bergulir sampai suatu ketika Davina mendapati Awang bermain piano di perpustakaan sekolah. Komposisi yang didengar Davina begitu sedih dan menyayat hati. Seketika Davina melihat hal yang lain dalam diri Awang. Kharisma dan ketampanannya terpancar. Davina jatuh hati, ia begitu terpesona. Dan tanpa ia sadar, ternyata dirinya sejak saat itu menyimpan perasaan pada Awang.

Dilema terjadi saat Armitha mulai membalas perasaan Awang. Davina mendapati mereka sedang bermain piano. Awang menatap Armitha dengan tatapan mendamba, sedang Armitha membalasnya dengan keceriaan. Pemandangan penuh kebahagiaan tetapi Davina tak mampu menerima itu. Hatinya sakit, dadanya sesak. Apakah ia harus mengalah pada perasaannya sendiri? Yang ia tahu saat itu hanya pergi dari tempat itu.

Apakah yang akan terjadi pada Davina? Apakah ia menjauh dan memutuskan persahabatan dengan Armitha? Ataukah justru Awang juga menyimpan perasaan yang sama terhadap Davina?

*

Kiranya perlu memberikan sebuah apresiasi yang besar pada Novellina karena kesuksesannya menjebak pembaca dalam labirin rasa yang ada dalam Fantasy. Sebagai novel pertama, Fantasy tergolong memukau dan menyorot banyak perhatian pembaca. Temanya sangat unik, musik klasik. Alhasil pembaca dapat mengenal beberapa contoh komposisi klasik seperti karya Mozart, Beethoven, Stravinsky dan lain sebagainya. Kelihaian penulis dalam meramu informasi ini seakan-akan menyihir para pembaca untuk berprasangka bahwa penulis sepertinya termasuk salah seorang pianis.

Dengan sudut pandang orang pertama (yang berpindah-pindah antara Davina dan Armitha) memberi kesan yang dalam pada penggambaran karakter tokoh utama tersebut. Emosi sangat terlihat. Tak hanya di situ, detail penggambaran setting menandakan bahwa penulis total dalam melakukan riset penyusunan novel ini. Hal itu terlihat jelas saat imajinasi pembaca ditarik paksa pergi menjelajahi Surabaya, Tokyo, Singapura, Paris, Berlin hingga Wina.

Novellina tak hanya bercerita menggunakan gaya bahasa yang terkesan pop tetapi juga menggunakan bahasa metafora yang terkesan dramatik. Hal ini menimbulkan kesan yang khas, yang romantis, mellow, dalam tubuh Fantasy. Hal ini pulalah yang membuat karakter masing tokoh menjadi lebih kuat, emosi menjadi lebih nyata. Komposisi bercerita dalam novel juga seimbang, antara narasi dan dialog.

Penulis mampu membuat kejutan-kejutan di akhir konflik. Sangat tidak terduga. Seperti memberikan sedikit sentuhan twist, yang mengecoh dugaan pembaca akan akhir dari sebuah masalah dalam cerita. Hal ini mengingatkan saya pada beberapa karya lain seperti novel My Perfect Sunset dan A Truth About Forever. Penulis dengan apik meramu plot dan membuatnya menjadi kompleks, saling bertautan antara cinta, persahabatan, mimpi, kepercayaan dan ketulusan. Sejenak menjadikan, membaca Fantasy seperti memainkan sebuah komposisi. Pengejewantahan karakter, konflik dan rangkaian cerita yang meloncat-loncat terlihat sebagai suatu kesatuan yang bertahap. Seperti seorang pianis membawakan sebuah sonata, melalui first movement, second movement, dan last movement.

Dari segi fisik, cover terlihat tetap eye catching dengan desain grafiti judul yang terlihat keren. Perpaduan warna font dan dasar cover yang bisru gelap tergolong biasa, tetapi ketika disatukan dengan keseluruhan 'isi' cerita, semuanya terlihat jelas. Warna gelap seakan menggambarkan kedalaman dan keluasan dari impian. Dan kitalah, masing-masing bintang yang bertaburan di dalamnya. Kita bisa saja bersinar, bisa tidak, semua tergantung pada keyakinan dan kepercayaan kita pada mimpi itu.

Secara pesan, karya Novellina terbilang menginspirasi. Hal ini terlihat dari penggambaran realitas rasa cinta dan kasih sayang yang disajikan dalam dimensi yang berbeda. Novellina ingin mengajak pembaca untuk mencoba mengerti bahwa cinta tak sesederhana dari apa yang terlihat. Ia mengajak pembaca untuk menelisik lebih dalam ikatan dan kaitan dari cinta, keyakinan, takdir, dan persahabatan. Rangkaian yang mendewasakan.

Pesan-pesan lainnya juga banyak ditemukan dalam kutipan kata-kata dalam novel, maupun hanya quote-quote yang menyentuh.

Bagiku, sebuah mimpi bukanlah sesuatu yang tidak penting. Mimpi adalah inti dari kehidupan manusia. Aku memulai hidupku dari sebuah mimpi (hal. 171)
Mungkin, jalan terbaik untuk tidak merasakan kesedihan adalah dengan tidak memikirkannya, menjauh dari kenangan, bahkan jika perlu meninggalkan semuanya untuk memulai hidup baru (hal. 121)
Tidak ada yang lebih menyedihkan selain saat seseorang kehilangan harapan. (hal. 133)
Terkadang tatapan mata mampu mengatakaan sejuta kejujuran daripada yang dapat diucapkan oleh lidah. (hal.106)
Merantai kaki seseorang karena ketakutan kita bukanlah cinta melainkan keegoisan. (hal. 126)


Kekurangan dari novel ini, hanya saja masih terdapat beberapa kesalahan penulisan.

Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangannya, novel ini sangat patut mendapatkan tempat di rak buku pribadi anda. Dengan cara yang tak biasa, penulis mencoba memberikan perspektif yang lain akan perjuangan dalam meraih mimpi dan cinta. Fantasy, 4,5 of 5 star.

"You are my Fantasy in D minor, my ending from my search of happiness"
(hal. 308)


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Resensi Novel Fantasy by Novellina A.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, kasi komentar, saran, atau kritik yah :)

 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger