Senin, 14 Juli 2014

Cerita Tentang Ibu

Jika diminta bercerita tentang ibu, tentang apa-apa yang berkesan dengan ibu, maka aku akan bingung dan tak akan bisa bercerita apa-apa. Karena apa yang menyangkut dirinya, bagiku, semuanya tak bisa dilupakan. Tak akan bisa diambil dan diduakan. Begitu bernilai. Tawa dan senyumnya adalah kebahagiaan terbesar bagiku. Sendu dan tangisnya adalah kesedihanku jua. Sesederhana itu.

Bercerita tentang ibu seperti mengenang dirinya. Omelannya kala diriku yang malas mandi, teriakan suaranya yang serak (karena terlalu sering teriak) yang menyuruhku agar cepat pulang, dan nasihat-nasihat dirinya yang mengantarku ke perantauan adalah harta yang tak bisa dinilai dalam kepalaku. Bagiku, kenangan itu adalah berlian.

Tapi, dari sekian banyak cerita yang tak pernah kubisa lupakan tentang dirinya, ada beberapa di antaranya yang mengajarkanku tentang kebahagiaan dan kedewasaan. Ada pula yang dulu aku tak mengerti apa maksudnya, kini (setelah diriku kuliah) baru aku tahu jabaran tafsirnya.

Dulu, kira-kira tahun 2000, ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP, kehidupan keluargaku sedang dalam titik terendah. Ibarat roda, posisi kami dekat sekali dengan tanah. Cobaan dan ujian silih berganti datang. Mulai dari tragedi pertengkaran dengan saudara tiri yang mengakibatkan aku, Ibu dan kedua adikku diusir dari rumah, sampai pada hari dimana kami hanya bisa makan nasi garam. Betapa begitu tegar diri Ibu saat itu.

Ibu hanyalah seorang penjahit. Sedikit demi sedikit ia menutupi belanja dengan upah yang diterima dari mengecilkan baju atau celana tetangga. Sewaktu itu ibu baru mempunyai mesin jahit dan belum dikenal kepiawaiannya kecuali orang terdekat dari rumah. Keberadaan ayah tak memberikan nafas segar apa-apa. Dirinya hanya batu! Dia terlalu banyak pertimbangan dan terlalu sayang kepada anak tirinya. Tak mengerti bagaimana setiap malam ibu menangis di tempat tidur, tak mengerti mengapa kantung mata ibu semakin besar dari hari ke hari.

Aku tak kuat. Tapi aku juga takut. Maka pada suatu waktu aku memutuskan untuk mencari uang. Tetapi aku tak tahu bagaimana caranya mendapatkan uang. Pernah seorang teman mengajak diriku mengamen di pinggiran lampu merah Rawasari, tepat di depan Universitas Trisakti, tetapi aku ragu. Begitu banyak preman di sana, apalagi isu-isu kelompok kampak merah sedang panas. Maka tawaran itu aku tolak.

Pilihanku jatuh pada sebuah tempat pemakaman umum. Iya, aku mencari selembar demi selembar uang seribuan dengan membersihkan makam. Hari itu, matahari begitu terik. Berbekal sebuah sapu lidi, aku mulai bekerja. Kutunggui satu-satu pengunjung yang datang, kemudian mengikutinya dari belakang. Satu kuburan, dua, hingga entah keberapa telah aku bersihkan. Peluh tak kupedulikan, pikirku saat itu yang penting hanyalah mendapatkan uang.

Hari sudah sore ketika aku sampai di rumah Ibu Jamal, rumah yang sebagiannya disekat (dibagi dua) agar bisa kami kontrak. Ibu ternyata telah menunggu di depan pintu. Melihatku kotor dan pergi tak bilang-bilang, ia marah. Keringatku belum juga kering (karena aku memilih berjalan kaki, tidak menaiki metromini 46), nafasku belum teratur sepenuhnya, mendengar dirinya murka, mataku seakan mengabur. Lapisan air seperti ingin jatuh dari sana.

Aku tak menjawab semua pertanyaan Ibu. Aku hanya merogoh kantung celana pendek hitamku yang telah lusuh dan memberikannya uang 12.000 rupiah. Kemudian pertahananku runtuh. Aku terisak sambil menjelaskan bahwa diriku tadi dari pemakaman umum di daerah Rawamangun. Ibu kaget dan kemudian memelukku. Tubuhku dan dan dirinya bergetar. Yang aku ingat saat itu hanya, kata-kata yang dibisikkan di telinga kiriku.
“Maafkan Ibu, Man. Ibu enggak tahu”
Disekanya pipiku dengan ujung bajunya. Kemudian ia menggodaku.
“Ternyata anak Ibu udah pintar nyari uang ya?”
Kulihat senyum ibu mengembang. Isakku perlahan hilang. Dan kemudian kami larut dalam keharuan, keharuan yang hanya dimengerti oleh ibu dan anak, keharuan yang baru bisa aku jabarkan bentuk dan maknanya sekarang.

Foto Ibu sekarang. (Soalnya enggak punya foto berdua sama ibu :D)

Begitulah. Semua hal tentang ibu tak pernah tak ada yang berkesan. Segala tentangnya selalu memberikan makna dan pelajaran. Baik langsung maupun tersirat. Tetapi, aku masih belum bisa membalasnya. Maafkan aku ibu. Maafkan anakmu ini. Aku masih belum bisa membalas apapun, tapi masih saja sering kali aku membohongimu. Maafkan aku ibu. Meski kini kita terpisahkan jarak yang luas, percayalah bahwa aku selalu mendoakan dirimu, ibu.
  
Tulisan ini diikutsertakan dalam 

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, kasi komentar, saran, atau kritik yah :)

 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger