Minggu, 13 April 2014

Surat, Rinduku Bercerita. Sebuah Cerita yang Sebenarnya (2)

Dear Ziy,

Izinkan aku bercerita sebentar. Kamu tahu apa yang selalu dirahasiakan dari rindu diam-diam? Senyum yang lahir dari kesendirian, senyum yang lahir dari imajinasi, dan senyum yang lahir malu, mungkin itu sebagian dari mereka. Berbagi ruang dengan tatap dibalik pundak kegelapan, sapaan canggung, serta sendu dan bahagia yang tiba-tiba menjadi teman, mereka mungkin hidup akur. Hidup dalam dua dimensi dari cinta yang berbeda. Cinta yang begitu pengecut, bagiku.

Ziy, aku telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada seorang perempuan yang merahimkan puisi dan sajak-sajak sederhanaku kemudian melahirkannya. Jatuh cinta pada perempuan yang merawat kesahajaan layaknya merawat anaknya sendiri dengan begitu sayang, menyusui begitu mereka menangis, menimang dan menyanyikan lagu kesukaan agar mereka tenang. Aku jatuh cinta padanya. Jatuh cinta yang begitu indah tetapi secara bersamaan begitu menyakitkan.

Sudah hampir tiga tahun aku mengamatinya. Mengamati tiap jejak-jejak langkahnya, mengamati tingkahnya, dan mengamati kehidupan di sekitar dirinya. Aku tertawa jika ia tertawa. Aku tersenyum jika ia tersenyum. Hanya saja aku tidak melakukan semua itu dengannya, di sebelah sisi kirinya.

Ziy, aku terjebak dalam kebodohan yang aku buat sendiri. Terhimpit dalam labirin yang aku rangkai dan berdiam diri untuk sengaja tidak keluar dari sana. Pikirku, menyimpan cinta sebagai rahasia adalah hal yang mulia. Tapi kamu tahu Ziy? Aku bukanlah salah satu manusia yang mampu memuliakan diriku sendiri. Aku belum mampu.

Kadang kepalaku terasa sakit sekali, sesekali aku hampir muntah. Aku merasa tak sanggup menerima kenyataan yang lebih tepatnya kuanggap sebagai semesta angan. Melihatnya tersenyum tapi tak bisa menciptakan senyumnya. Melihatnya tertawa tapi tak bisa membuatnya tertawa.

Hingga sampai ketika aku memutuskan, aku tak bisa hidup dengan penderitaan seperti ini. Maka dari itu aku merapikan diri. Menyimpan memori-memori tersebut dalam sebuah kotak kayu. Menatanya sebaik mungkin agar rindu-rindu yang tak pernah usai itu tak akan rusak dimakan tanah dan masa. Biarlah mereka hidup sebagai kenangan, lalu hancur dengan cinta yang ada di dalamnya, dengan sendirinya.

Akan tetapi, ketika aku bertemu denganmu, kotak yang sengaja kukubur itu mencuat kembali. Membuka dengan sendirinya. Mengeluarkan wangi yang selalu aku ingat, wangi yang aku namai sebagai rindu terpendam. Rindu yang mengatasnamakan dirinya sebagai rindu bahkan sebelum mencinta. Kamu tahu, manakah yang benar adanya dari sebuah kehadiran rasa, rindu atau cinta?

Kamu mengingatkanku pada dirinya. Bukan karena aksara-aksara yang sama. Bukan pula karena suguhan-suguhan secangkir rasa manja dalam tiap sesapan coklat yang kamu sajikan. Tetapi karena kalian seakan sama seperti selembar kertas dan pena. Dua teman yang selalu aku gunakan untuk menggoreskan rindu-rindu yang telah tumbuh subur ini.

Ziy, aku begitu bodoh kan?

Salam hangat
Nurman

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, kasi komentar, saran, atau kritik yah :)

 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger