Jumat, 04 April 2014

Surat Kedua: Muramku Kebodohanku

Dear Ziy,

Terima kasih atas segala bentuk kepedulian dan perhatian yang selalu kamu curahkan tulus padaku. Aku sangat bersyukur memiliki sosok-sosok hangat seperti kamu. Sosok yang kerap menjengkal tiap kata dan tanda baca untuk sekadar mencari segaris lengkung pelangi di bibir para penyimpan perasaan. Sosok perempuan lembut yang tak segan berbagi kasih sayang walau hanya dengan segelintir senyuman maupun sebaris tulisan. Kamu tahu, semua yang kamu berikan padaku itu tak mungkin aku bisa balas dengan takaran yang sama bukan?

Ziy, aku ingin minta maaf. Aku ingin minta maaf atas segala kesalahan yang aku perbuat padamu. Atas keterlambatanku membalas suratmu, atas ketidaksetiaanku mengikat makna dari sajak-sajak sederhana kita, atas keacuhanku pada sapa-sapa sayangmu dan atas pesan-pesan rahasia kita yang kadang aku simpan tanpa kubaca satu per satu. Maafkan aku yang terlampau hina ini. Jujur, sesungguhnya aku tak mau seperti itu, sungguh tak mau. Maafkan aku, dibalik segala sikap dan keadaan yang tercipta di antara kita sesungguhnya ada alasan. Kamu percaya bukan?

Aku sedang jatuh sakit, Ziy. Sakit akibat kebodohanku telah memilih sepi dan sunyi sebagai teman hati. Sakit akibat kebodohanku terlalu lama mendekam dalam kubangan beku kebisuan tanpa bisa berani bergerak dari sana. Tubuhku sehat, tapi aku membatu kaku. Aku terlalu pengecut, Ziy. Terlalu bodoh memilih bahwa diam adalah jawaban atas semua perasaan. Dan inilah hasilnya, aku sakit, begitu sakit. Sakit yang mendorongku hingga jatuh begitu dalam, gelap dan tenggelam. Sakit yang memaksaku merengkuh dada pelan-pelan hingga terpejam.

Itulah salah satu dari rahasia keadaan. Aku butuh waktu untuk berdamai dengan diri dan hati. Maka, maafkanlah aku Ziy. Karena keadaanku yang seperti ini, aku terlambat membalas surat darimu. Itulah juga sebabnya beberapa waktu ini aku telah kehilangan kata-kata, tak bisa membalas untaian metafora yang sengaja kamu taburkan. Sajak-sajakku telah mati, bersama hilangnya sosok inspirasi.

Akhir kata, terima kasih atas suratmu. Paragraf-paragraf itu sangat jujur membaca rasaku.

Salam hangat,
Nurman

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, kasi komentar, saran, atau kritik yah :)

 

Copyright © Garis Satu Kata Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger