Jika diminta
bercerita tentang ibu, tentang apa-apa yang berkesan dengan ibu, maka aku akan
bingung dan tak akan bisa bercerita apa-apa. Karena apa yang menyangkut dirinya,
bagiku, semuanya tak bisa dilupakan. Tak akan bisa diambil dan diduakan. Begitu
bernilai. Tawa dan senyumnya adalah kebahagiaan terbesar bagiku. Sendu dan
tangisnya adalah kesedihanku jua. Sesederhana itu.
Bercerita tentang
ibu seperti mengenang dirinya. Omelannya kala diriku yang malas mandi, teriakan
suaranya yang serak (karena terlalu sering teriak) yang menyuruhku agar cepat pulang,
dan nasihat-nasihat dirinya yang mengantarku ke perantauan adalah harta yang
tak bisa dinilai dalam kepalaku. Bagiku, kenangan itu adalah berlian.
Tapi, dari
sekian banyak cerita yang tak pernah kubisa lupakan tentang dirinya, ada
beberapa di antaranya yang mengajarkanku tentang kebahagiaan dan kedewasaan. Ada
pula yang dulu aku tak mengerti apa maksudnya, kini (setelah diriku kuliah) baru aku tahu jabaran tafsirnya.
Dulu,
kira-kira tahun 2000, ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP, kehidupan
keluargaku sedang dalam titik terendah. Ibarat roda, posisi kami dekat sekali
dengan tanah. Cobaan dan ujian silih berganti datang. Mulai dari tragedi pertengkaran
dengan saudara tiri yang mengakibatkan aku, Ibu dan kedua adikku diusir dari
rumah, sampai pada hari dimana kami hanya bisa makan nasi garam. Betapa begitu
tegar diri Ibu saat itu.
Ibu hanyalah
seorang penjahit. Sedikit demi sedikit ia menutupi belanja dengan upah yang
diterima dari mengecilkan baju atau celana tetangga. Sewaktu itu ibu baru
mempunyai mesin jahit dan belum dikenal kepiawaiannya kecuali orang terdekat dari
rumah. Keberadaan ayah tak memberikan nafas segar apa-apa. Dirinya hanya batu!
Dia terlalu banyak pertimbangan dan terlalu sayang kepada anak tirinya. Tak
mengerti bagaimana setiap malam ibu menangis di tempat tidur, tak mengerti
mengapa kantung mata ibu semakin besar dari hari ke hari.
Aku tak
kuat. Tapi aku juga takut. Maka pada suatu waktu aku memutuskan untuk mencari
uang. Tetapi aku tak tahu bagaimana caranya mendapatkan uang. Pernah seorang
teman mengajak diriku mengamen di pinggiran lampu merah Rawasari, tepat di
depan Universitas Trisakti, tetapi aku ragu. Begitu banyak preman di sana,
apalagi isu-isu kelompok kampak merah sedang panas. Maka tawaran itu aku tolak.
Pilihanku
jatuh pada sebuah tempat pemakaman umum. Iya, aku mencari selembar demi
selembar uang seribuan dengan membersihkan makam. Hari itu, matahari begitu
terik. Berbekal sebuah sapu lidi, aku mulai bekerja. Kutunggui satu-satu
pengunjung yang datang, kemudian mengikutinya dari belakang. Satu kuburan, dua,
hingga entah keberapa telah aku bersihkan. Peluh tak kupedulikan, pikirku saat
itu yang penting hanyalah mendapatkan uang.
Hari sudah
sore ketika aku sampai di rumah Ibu Jamal, rumah yang sebagiannya disekat
(dibagi dua) agar bisa kami kontrak. Ibu ternyata telah menunggu di depan
pintu. Melihatku kotor dan pergi tak bilang-bilang, ia marah. Keringatku belum
juga kering (karena aku memilih berjalan kaki, tidak menaiki metromini 46),
nafasku belum teratur sepenuhnya, mendengar dirinya murka, mataku seakan
mengabur. Lapisan air seperti ingin jatuh dari sana.
Aku tak
menjawab semua pertanyaan Ibu. Aku hanya merogoh kantung celana pendek hitamku
yang telah lusuh dan memberikannya uang 12.000 rupiah. Kemudian pertahananku
runtuh. Aku terisak sambil menjelaskan bahwa diriku tadi dari pemakaman umum di
daerah Rawamangun. Ibu kaget dan kemudian memelukku. Tubuhku dan dan dirinya
bergetar. Yang aku ingat saat itu hanya, kata-kata yang dibisikkan di telinga
kiriku.
“Maafkan
Ibu, Man. Ibu enggak tahu”
Disekanya pipiku
dengan ujung bajunya. Kemudian ia menggodaku.
“Ternyata
anak Ibu udah pintar nyari uang ya?”
Kulihat
senyum ibu mengembang. Isakku perlahan hilang. Dan kemudian kami larut dalam
keharuan, keharuan yang hanya dimengerti oleh ibu dan anak, keharuan yang baru
bisa aku jabarkan bentuk dan maknanya sekarang.
![]() |
Foto Ibu sekarang. (Soalnya enggak punya foto berdua sama ibu :D) |
Begitulah. Semua
hal tentang ibu tak pernah tak ada yang berkesan. Segala tentangnya selalu memberikan
makna dan pelajaran. Baik langsung maupun tersirat. Tetapi, aku masih belum
bisa membalasnya. Maafkan aku ibu. Maafkan anakmu ini. Aku masih belum bisa
membalas apapun, tapi masih saja sering kali aku membohongimu. Maafkan aku ibu.
Meski kini kita terpisahkan jarak yang luas, percayalah bahwa aku selalu
mendoakan dirimu, ibu.
Tulisan ini diikutsertakan dalam
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, kasi komentar, saran, atau kritik yah :)